Dua Pilar Utama
Demorasi; Demokrasi Perwakilan vs Civil Liberties
Ketika parlementarisme (faham yang meyatakan bahwa
kekuasaan berada ditangan rakyat yang dimanifestasikan kedalam dan melalui
parlemen) menjadi mode of politics dalam demokrasi yang dikembangkan
oleh masyarakat Eropa abad 18-19, banyak pertanyaan oleh publik tentang
kedaulatan rakyat, misalnya siapakah yang disebut “rakyat” atau perwakilan dan
keterwakilan rakyat”. Hal tersebut menggerogoti kepercayaan tentang apakah parlementarisme
merupakan idealisasi dari demokrasi. Persoalan ini menjadi mengedepan ketika
dibayangkan bahwa demokrasi perwakilan sebagai wujud parlementarisme
sesungguhnya merupakan demorasi yang sangat elitis karena hanya melibatkan
sebagian golongan masyarakat kecil.
Gerakan yang lebih populis diprakarsai oleh kelompok
intelektual yang berkoalisi dengan kelompok tertindas utamanya buruh industri
dan petani miskin di Eropa abad ke-19, telah berhasil menggoyahkan kepercayaan
sebagian orang terhadap praktik demokrasi perwakilan, dan menghasilkan koreksi
total terhadap demokrasi perwakilan. Juga berkembang kepercayaan baru bahwa
konsep “rakyat dan perwakilan” harus menyertakan proses yang adil bagi semua
orang, juga kepercayaan bahwa demokrasi hanya bermakna apabila pengakuan
terhadap hak sipol idividu diberikan, dijamin, dan dihormati. Gagasan inilah
yang melekat dalam sebah konsep Civil Liberties (warga negara memiliki
hak yang tidak dapat dikurangi untuk berpatisipasi secara langsung dalam
mempengaruhi proses politik, sekalipun telah hadir sebuah parlemen yang telah
dibentuk melalui pemilihan umum yang bebas).
Dalam konteks sejarah
tersebut civil liberties dilahirkan melengkapi praktik demokrasi
perwakilan. Sehingga demokrasi tidak saja ditentutkan dengan hadirnya parlemen,
pejabat publik yang dipilih secara demokratis, partai poitik beserta pemilihan
umum yang jujur dan adil, namun juga pengakuan terhadap hak individu baik
secara sendiri maupun kelompok, untuk menyatakan pikiran dan pendapatnya, dan
secara langsung dan berpartisipasi dalam pembuatan keputusan politik serta
kontrol terhadap bagaimana kekuasaan itu dijalankan. Sejarah menunjukkan
terjadi pergeseran mendasar bagaiaman demokrasi dipraktikkan, dari orientasinya
kepada perlementarisme elitis menuju
parlementarisme populis dengan pengakuan terhadap civil liberties yang
mencakup hak dasar warga negara. Tumbuhnya tradisi berpartai, berorganisasi
politik serta mendirikan organisasi kepentingan dan pers bebas merupakan
peristiwa sejarah yang amat khusus. Hal tersebut berbeda dari demokrasi
perwakilan awal. Parlementarisme digerakkan oleh kepentingan elite (tuan tanah,
pemodal dan bangsawan). Civil liberties dihasilkan oleh perjuangan
kelompok tertindas dan kelompok yang terancam oleh praktik demokrasi elitis.
Inilah oleh ahli sejarah dan ilmu sosial dilihat sebagai sumbangan terpenting
dari aliansi golongan kelas menengah dan bawah terhadap demokrasi modern.