Kamis, 17 Oktober 2013

Kuota 30 Persen Perempuan Di Parlemen

Krisis perempuan diparlemen bukan hanya karena tidak terpenuhinya kuota 30 persen keterwakilan perempuan di partai politik. Akan tetapi masih kurangnya kepercayaan masyarakat atau publik terhadap kemampuan dan kualitas politisi perempuan.
Meskipun secara relatif tidak ada halangan budaya maupun sosial yang menghambat perempuan untuk terjun ke dunia politik, namun bukan berarti perempuan akan mudah melenggang ke parlemen.
Kuota 30 persenatau affirmative action bukan jaminan bagi caleg perempuan untuk mudah melenggang ke parlemen. Meskipun aturan tersebut telah diberlakukan sejak tahun 2009. Banyak yang beranggapan bahwa sebenarnya pemilihan dengan sistem suara terbanyak tidak bersinergi dengan penerapan kuota 30 persen. Sebab meskipun ada kuota 30 persen bagi caleg perempuan tetapi akhirnya yang menentukan juga adalah siapa pemilik suara terbanyak. Akibatnya tujuan affirmative action pun tidak tercapai.
Padahal dalam Pasal 55 ayat 2 undang-undang nomor 10 tahun 2008 tentang pemilu legislatif, sudah diatur sebuah syarat bahwa apabila ada tiga caleg maka satu diantaranya harus ada caleg perempuan. Masksud dari syarat tersebut adalah agar caleg perempuan tetap mendapat nomor bagus dan bukan malah nomor buntut. Apabila coba kita pahami, maka syarat tersebut sebenarnya hanya cocok dengan pemilihan dengan sistem nomor urut yang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dengan alasan bertentangan dengan undang-undang dasar.
Hal lain yang menjadi persoalan terkait dengan affirmative action adalah  perekrutan oleh parpol peserta pemilu. Kuota 30 persen mewajibkan parpol pada setiap dapil harus memenuhi kuota tersebut. Bila tidak, maka parpol harus rela kehilangan satu dapilnya. Meskipun tidak nampak, tapi sepertinya parpol mengalami kesulitan tersendiri untuk memenuhi kuota 30 persen tersebut.
Hal ini terbukti dengan adanya beberapa parpol yang kehilangan satu dapilya lantaran tidak mampu memenuhi kuota tersebut. Sehingga upaya antisipatif yang dilakukan parpol adalah melakukan “apapun” agar dapat memenuhi  kuota tersebut. Salah satu yang bisa kita saksikan adalah parpol nampaknya tidak lagi melakukan kaderisasi dalam merekrut anggota. Bahkan parahnya, ada parpol yang membuka lowongan untuk menjaring caleg. Selama ini memang parpol menerima siapa saja anggota masyarakat yang ingin menjadi kader partai. Sehingga hasilnya banyak caleg yang merupakan produk instan dari parpol.
Kuota 30 persen oleh parpol terkesan hanya menjadi legitimasi politik untuk konstituen partai. Publik melihat parpol tidak menggunakan kuota 30 persen sebagai medium memperjuangkan kepentingan kaum perempuan ataupun melakukan kaderisasi kaum perempuan secara serius. Sehingga penjaringan caleg perempuan pun terjebak pada formalitas belaka. Tidak mengherankan apabila masyarakat pesimistis kepada caleg perempuan ataupun kepada mereka yang sudah duduk di parlemen.
Persoalan kualitas murni tanggungjawab parpol. Disamping calegnya juga harus punya kapabilitas. Tentu hal ini dipengaruhi oleh proses kaderisasi dan pengalaman-pengalaman celeg tersebut tentunya.
Selain persoalan tersebut caleg perempuan juga mengalami sebuah kenyataan bahwa urgensi peran politiknya masih banyak dipertanyakan publik. Perempuan juga memiliki kekurangan termasuk lemahnya SDM khususnya pendidikan, skil yang professional. Serta terbatasnya perempuan berkualitas dan memiliki kualifikasi dalam dunia politik, misalnya leadership, organisasi, public speaking, lobbying dan mempengaruhi massa. Disinilah dibutuhkan kejelian masyarakat dalam memilih calon mereka sebagai wakil rakyat.
Substansi affirmative action tidak lain adalah agar perempuan memiliki 30 persen suara diparlemen. Di beberapa Negara seperti Afrika misalnya affirmative action telah membawa dampak perubahan nyata dalam pembuatan kebijakan. Di Indonesia kebijakan ini telah diterapkan kurang lebih lima tahun sejak tahun 2009. Pada tahun 2004 proporsi perempuan diparlemen hanya 11,81 persen. Sedangkan pada tahun 2009 proporsinnya bertambah menjadi 18 persen. Hal tersebut menunjukkan peningkatan yang cukup besarsecara kuantitas bagi perempuan diparlemen. Namun pada kenyataannya angka tersebut secara kualitas belum cukup untuk membawa perubahan signifikan diparlemen.
Sebuah survey yang dilakukan oleh Litbang Kompas menunjukkan bahwa masyarakat menganggap kehadiran perempuan di parlemen belum membawa perubahan nyata dimasyarakat. Bahkan 50 persen lebih menunjukkan ketidak puasannya pada perempuan diparlemen. Bisa dibayangkan bahwa jumlah 18 persen belum bisa mempengaruhi pengambilan keputusan di parlemen. Setidaknya ini menunjukkan aspirasi perempuan di parlemen belum terakomodir dengan jumlah tersebut.
Terlepas dari fakta tersebut secara kuantitas politisi perempuan memang sedikit diparlemen, tetapi kualitas politisi perempuanpun memiliki andil besar dalam mempengaruhi kebijakan.

Akhirnya yang menjadi harapan besar kedepan adalah kuota 30 persen benar-benar digunakan oleh parpol sebagai momentum melakukan kaderisasi bagi kader perempuan. Sehingga mencetak kader-kader perempuan yang memiliki kapabilitas atau kualitas yang tidak kalah dari kader laki-laki. Semoga! []