Minggu, 23 Maret 2014

 Dua Pilar Utama Demorasi; Demokrasi Perwakilan vs Civil Liberties

Ketika parlementarisme (faham yang meyatakan bahwa kekuasaan berada ditangan rakyat yang dimanifestasikan kedalam dan melalui parlemen) menjadi mode of politics dalam demokrasi yang dikembangkan oleh masyarakat Eropa abad 18-19, banyak pertanyaan oleh publik tentang kedaulatan rakyat, misalnya siapakah yang disebut “rakyat” atau perwakilan dan keterwakilan rakyat”. Hal tersebut menggerogoti kepercayaan tentang apakah parlementarisme merupakan idealisasi dari demokrasi. Persoalan ini menjadi mengedepan ketika dibayangkan bahwa demokrasi perwakilan sebagai wujud parlementarisme sesungguhnya merupakan demorasi yang sangat elitis karena hanya melibatkan sebagian golongan masyarakat kecil.
Gerakan yang lebih populis diprakarsai oleh kelompok intelektual yang berkoalisi dengan kelompok tertindas utamanya buruh industri dan petani miskin di Eropa abad ke-19, telah berhasil menggoyahkan kepercayaan sebagian orang terhadap praktik demokrasi perwakilan, dan menghasilkan koreksi total terhadap demokrasi perwakilan. Juga berkembang kepercayaan baru bahwa konsep “rakyat dan perwakilan” harus menyertakan proses yang adil bagi semua orang, juga kepercayaan bahwa demokrasi hanya bermakna apabila pengakuan terhadap hak sipol idividu diberikan, dijamin, dan dihormati. Gagasan inilah yang melekat dalam sebah konsep Civil Liberties (warga negara memiliki hak yang tidak dapat dikurangi untuk berpatisipasi secara langsung dalam mempengaruhi proses politik, sekalipun telah hadir sebuah parlemen yang telah dibentuk melalui pemilihan umum yang bebas).
Dalam konteks sejarah tersebut civil liberties dilahirkan melengkapi praktik demokrasi perwakilan. Sehingga demokrasi tidak saja ditentutkan dengan hadirnya parlemen, pejabat publik yang dipilih secara demokratis, partai poitik beserta pemilihan umum yang jujur dan adil, namun juga pengakuan terhadap hak individu baik secara sendiri maupun kelompok, untuk menyatakan pikiran dan pendapatnya, dan secara langsung dan berpartisipasi dalam pembuatan keputusan politik serta kontrol terhadap bagaimana kekuasaan itu dijalankan. Sejarah menunjukkan terjadi pergeseran mendasar bagaiaman demokrasi dipraktikkan, dari orientasinya kepada perlementarisme elitis  menuju parlementarisme populis dengan pengakuan terhadap civil liberties yang mencakup hak dasar warga negara. Tumbuhnya tradisi berpartai, berorganisasi politik serta mendirikan organisasi kepentingan dan pers bebas merupakan peristiwa sejarah yang amat khusus. Hal tersebut berbeda dari demokrasi perwakilan awal. Parlementarisme digerakkan oleh kepentingan elite (tuan tanah, pemodal dan bangsawan). Civil liberties dihasilkan oleh perjuangan kelompok tertindas dan kelompok yang terancam oleh praktik demokrasi elitis. Inilah oleh ahli sejarah dan ilmu sosial dilihat sebagai sumbangan terpenting dari aliansi golongan kelas menengah dan bawah terhadap demokrasi modern.
Beberapa Pola Perkembangan Awal Demokrasi Modern 
(Kasus Amerika, Inggris dan Prancis)

Tahun 1760-1919 oleh para ahli sejarah disebut sebagai “Abad kesembilan belas yang lama”, sebab pada saat itu terjadi sebuah perubahan sosial yang sangat penting dan menjadi dasar dari terbentuknya gagasan dan institusi pokok yang dikemudian hari menjadi dasar dari negara demokrasi modern. Revolusi industri awalnya terjadi di Inggris pada pertengahan abad ke-17, mendorong perubahan yang sangat mendasar dalam distribusi kekuatan ekonomi dan stratifikasi sosial di Inggris dan masyarakat Eropa pada umumnya. Setelah revolusi industri di Inggris segera disusul oleh revolusi Amerika (1776-1787) dan revolusi Prancis (1789-1799). Perkembangan demokrasi di Inggris ditandai oleh sejarah yang sangat panjang. Perkembangan paling awal dapat ditelusuri pada abad ke-17, ditandai oleh perjanjian Raja John I (1176-1216) dengan para tuan tanah yang disebut baron yang menghasilkan piagam “Magna Charta”. Hal tersebut menjadi tonggak sejarah yang sangat penting. Magna charta menghasilkan diktum “tidak ada keputusan yang dapat dianggap sebagai sah sebelum mendapat persetujuan dari pihak-pihak yang akan terkena keputusan itu.” Diktum tersebut kemudian menjadi salah satu ajaran dalam demokrasi modern, dan dari situlah muncul prinsip “persetujuan” (agreement) serta mendapat akar sejarahnya yang kuat dalam praktik demokrasi modern.
Berakhirnya perang saudara (1640-1649) menghasilkan pemerintahan monarkhi di Inggris Raya. Setelah terjadinya revolusi industri, tekanan terhadapa absolutisme semakin menguat, yang dalam perkembangannya kemudian menghasilkan pembentukan dua lembaga parlemen; House of Lodrs dan House of Commons. Dalam perkembangannya Reform Act I (1867), Reform Act II (1884), dan Reform Act III (1885) secara berturut-turut mengubah sistem pemilihan dan perwakilan yang lebih demokratis: mencakup warga negara hingga di pedesaan. Perempuan mendapat hak politiknya secarah penuh pada 1929.
Di Amerika, apa yang awalnya merupakan gerakan anti-imperial Inggris berubah menjadi perjuangan nasional untuk demokrasi, bahkan kemerdekaan, diantaranya dibawah slogan “no taxation without representation” (tidak ada pajak tanpa perwakilan). Secara luas dikenal dengan nama Revolusi Amerika. Walaupun Revolusi Amerika (dimulai pada pernyataan kemerdekaan tahun 1776 sampai perubahan konstitusi Amerika yang baru tahun 1778) telah menghasilkan landasan bagi demokrasi modern, namun untuk waktu yang lama, kaum perempuan, indian dan kulit hitam tidak memiliki hak pilitik yang sama dengan warga negara Amerika lainnya. Bahkan kulit hitam Amerika tetap mengalami eksklusi sosial dan pilitik meskipun perang saudara (1861-1865) berhasil menghapuskan perbudakan. Setelah perang dunia I berakhir (1914-1918) kaum perempuan Amerika mendapat hak pilih dan dipilih. Setelah disahkannya Civil Right Acts (1964) dan Voter Registration Act (1965), kelompok kulit hitam Amerika baru mendapatkan hak politiknya secara penuh sebagai warga negara.
Sedangkan gerakan demokratisasi di Prancis dimulai ketika terjadi Revolusi Prancis (1789-1799) dan berhasil menyingkirkan pemerintahan monarki absolut yang bertahan selama 200 tahun. Terbentuknya majelis nasional menggantikan lembaga serupa yang dimonopoli kaum bangsawan, tuan tanah dan gereja merupakan awal terbentuknya parlemen yang melampaui batas sosial dan ekonomi. Konstitusi pertama (1791) mengusulkan pemerintahan monarki konstitusional yang ditolak oleh kaum bangsawan segera disusul dengan deklarasi republik pertama, ditandai eksekusi terhadap Louis XVI (1793). Monarki dan imperium Prancis dibentuk kembali oleh Napoleon Bonaparte (1799) dan meggagalkan pembentukan republik pertama. Prancis kembali ke monarki (1815) setelah napoleon dikalahkan oleh Inggris. Republik Prancis kedua dibentuk pada 1884 dimotori oleh  kaum radikal, pedagang, dan petani ketika terjadi kudeta oleh Louis Napoleon (Napoleon III, 1851). Gerakan melawan monarki dilanjutkan oleh kaum radikal republik, menghasilkan Prancis ketiga (1875). Dalam perkembangannya menjadi dasar bagi demokrasi Prancis modern.
Demokrasi Sebagai Sebuah Konsepsi dan Perkembangannya
Dalam pengertian klasik, demokrasi setidaknya diartikan sebagai “pemerintahan rakyat”. Sedangkan dalam pengertian yang lebih modern dan populer, demokrasi kemudian diberi makna “pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat”. Kata “rakyat” memiliki sebuah penekanan penting, sebab dalam konsep maupun praktik demokrasi, rakyat merupakan sumber otoritas dari sebuah pemerintahan absolut. Sama halnya dengan raja yang sumber otoritasnya berasal dari kekuasaan turun temurun. Sebagai sebuah konsepsi maupun praktik, demokrasi mengalami sebuah perkembangan yang sangat panjang melalui perjalanan historis. Awalmulanya dipraktikkan di Athena dalam bentuk demokrasi langsung, kurang lebih pada tahun 500 SM.
Demokrasi dalam perkembangan selanjutnya harus menerima elemen “perwakilan”, hal tersebut sebagai sebuah keniscayaan dengan alasan pemerintahan langsung oleh rakyat keseluruhan tidak mungkin dilakukan dalam masyarakat yang relatif jauh lebih besar jumlahnya, dibanding dengan kota asal konsepsi demokrasi itu lahir dan dipraktikkan pertamakali. Sebagai konsepsi maupun praktik, sejak dan sesudah abad-18 prinsip perwakilan merupakan hal yang melekat dalam pengertian demokrasi. Prinsip perwakilanpun sudah mengalami perjalanan cukup panjang, sampai sebelum berakhirnya akhir abad-19 prinsip perwakilan hanya merujuk pada sejumlah kelompok kecil masyarakat, tidak semua warga negara memiliki hak memilih atau dipilih. Di Eropa, berawal di Inggris, anggota parlemen hanya mereka yang berasal dari kelompok bangsawan dan tuan tanah, hal tersebut tidak lebih sekedar pendamping kekuasaan para raja. Sampai akhir abad-18 dua kelompok masyarakat inilah menjadi kelas sosial yang secara eksklusif memiliki hak istimewa dalam sistem perwakilan.

Menjelang peralihan ke abad-20, akhirnya prinsip perwakilan mengalami perubahan makna yang sangat berarti, yaitu juga mencakup pengertian rakyat dalam arti yang lebih luas. Tidak hanya itu, konsepsi demokrasi juga telah menyentuh hal yang paling mendasar dari hubungan kekuasaan, yaitu mensyaratkan hadirnya relasi-relasi yang bebas, merdeka di antara warga negara. Sebelum tahun 1760 tidak satupun negara di dunia ini mengadopsi pemerintahan demokratik dalam pengertian yang dipakai sekarang, hingga pada akhir abad 20, lebih dari separuh jumlah negara-negara di dunia telah mengadopsi demokrasi.

Rabu, 05 Februari 2014

Demokrasi dan Penegakan Hukum

Demokrasi dan penegakan hukum ibarat dua sisi dari mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Sebab, ketiadaan salah satu dari keduanya dapat menyebabkan situasi ekstrim yang membuat kehidupan bernegara menjadi bukan hanya tidak sehat, tetapi sangat membahayakan. Demokrasi dalam arti kebasan yang tanpa batas, dapat melahirkan situasi ekstrim berupa anarki. Sebaliknya, hukum yang tidak memberikan kesempatan kepada warga Negara untuk berdaya sesungguhnya adalah tirani. Karena itu, demokrasi harus seimbang dengan penegakan hukum, sehingga kebebasan individu dapat berjalan secara tertib dan tidak kontradiktif antara satu dengan yang lain.
Pemerintahan dalam sistem demokrasi harus terbatas kekuasaannya, sehingga tidak ada kesemenangan terhadap warga negara. Bahkan mereka berkewajiban untuk memberikan jaminan kepada setiap warga Negara untuk tidak hanya mendapatkan kehidupan yang aman, tetapi juga layak bagi kemanusiaan.
Penegakan hukum sangat diperlukan untuk menjadikan demokrasi menjadi sistem politik yang ideal untuk dilaksanakan. Harus diakui bahwa demokrasi bukan sistem politik yang sempurna. Demokrasi juga mengandung berbagai cacat bawaan yang salah satu cara mengatasinya adalah menegakkan supresimasi hukum. Jika kebebasan yang luas kepada setiap warga Negara berpotensi melahirkan anarki, maka kekuasaan yang besar bagi para penyelenggara negara, karena legitimasi yang kuat dari rakyat berpotensi melahirkan penyelewengan kekuasaan. Hal itu telah terjadi dalam berbagai bentuk praktik korupsi, bahkan di antaranya dilakukan secara kolektif (berjamaah).
Demokrasi yang seimbang dengan penegakan hukum akan menyebabkan kekuasaan terbebas dari absolutisme. Berdasarkan fakta, absolutisme kekuasaan menyebabkan pemiliknya melakukan penyelewengan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Lord Acton, bahwa “kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan yang absolute pasti korup”. Sistem hukum dapat membatasi kekuasaan menjadi tidak absolute bagi individu tertentu. Sebab, kekuasaan harus dijalankan berdasarkan hukum yang disetujui oleh rakyat melalui lembaga legislatif. Hukum yang dimaksudkan adalah formalisasi dari nilai-nilai tertentu yang yakini oleh rakyat sebagai jalan untuk menciptakan atau mewujudkan kebaikan bersama.
Sampai saat ini, bisa dikatakan bahwa Negara hukum masih merupakan cita dan impian. Karena itu, setiap individu, terutama para pemimpin memiliki tanggungjawab untuk membuat agar Negara menjadi sarana untuk mewujudkan keadilan bagi semua.

Terdapat berbagai indikator penegakan hukum dalam sebuah negara. Salah satu indikator terpenting adalah tingkat korupsi. Kecenderungan korupsi, terutama pada penguasa, membuat penegakan hukum menjadi sebuah keniscayaan. Penegakan hukum yang menimbulkan efek jera, sehingga yang melakukannya tidak berani lagi untuk mengulangi tindakan korupsi akan menyebabkan Negara relatif  bersih. Namun, jika hukum tidak ditegakkan, atau ditegakkan tetapi hanya pada kalangan tertentu yang lemah, maka praktik korupsi akan semakin menjamur. Penegakan hukum yang adil untuk semua itulah yang akan mengantarkan Indonesia menjadi negara yang bermartabat. Semoga!

Kamis, 17 Oktober 2013

Kuota 30 Persen Perempuan Di Parlemen

Krisis perempuan diparlemen bukan hanya karena tidak terpenuhinya kuota 30 persen keterwakilan perempuan di partai politik. Akan tetapi masih kurangnya kepercayaan masyarakat atau publik terhadap kemampuan dan kualitas politisi perempuan.
Meskipun secara relatif tidak ada halangan budaya maupun sosial yang menghambat perempuan untuk terjun ke dunia politik, namun bukan berarti perempuan akan mudah melenggang ke parlemen.
Kuota 30 persenatau affirmative action bukan jaminan bagi caleg perempuan untuk mudah melenggang ke parlemen. Meskipun aturan tersebut telah diberlakukan sejak tahun 2009. Banyak yang beranggapan bahwa sebenarnya pemilihan dengan sistem suara terbanyak tidak bersinergi dengan penerapan kuota 30 persen. Sebab meskipun ada kuota 30 persen bagi caleg perempuan tetapi akhirnya yang menentukan juga adalah siapa pemilik suara terbanyak. Akibatnya tujuan affirmative action pun tidak tercapai.
Padahal dalam Pasal 55 ayat 2 undang-undang nomor 10 tahun 2008 tentang pemilu legislatif, sudah diatur sebuah syarat bahwa apabila ada tiga caleg maka satu diantaranya harus ada caleg perempuan. Masksud dari syarat tersebut adalah agar caleg perempuan tetap mendapat nomor bagus dan bukan malah nomor buntut. Apabila coba kita pahami, maka syarat tersebut sebenarnya hanya cocok dengan pemilihan dengan sistem nomor urut yang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dengan alasan bertentangan dengan undang-undang dasar.
Hal lain yang menjadi persoalan terkait dengan affirmative action adalah  perekrutan oleh parpol peserta pemilu. Kuota 30 persen mewajibkan parpol pada setiap dapil harus memenuhi kuota tersebut. Bila tidak, maka parpol harus rela kehilangan satu dapilnya. Meskipun tidak nampak, tapi sepertinya parpol mengalami kesulitan tersendiri untuk memenuhi kuota 30 persen tersebut.
Hal ini terbukti dengan adanya beberapa parpol yang kehilangan satu dapilya lantaran tidak mampu memenuhi kuota tersebut. Sehingga upaya antisipatif yang dilakukan parpol adalah melakukan “apapun” agar dapat memenuhi  kuota tersebut. Salah satu yang bisa kita saksikan adalah parpol nampaknya tidak lagi melakukan kaderisasi dalam merekrut anggota. Bahkan parahnya, ada parpol yang membuka lowongan untuk menjaring caleg. Selama ini memang parpol menerima siapa saja anggota masyarakat yang ingin menjadi kader partai. Sehingga hasilnya banyak caleg yang merupakan produk instan dari parpol.
Kuota 30 persen oleh parpol terkesan hanya menjadi legitimasi politik untuk konstituen partai. Publik melihat parpol tidak menggunakan kuota 30 persen sebagai medium memperjuangkan kepentingan kaum perempuan ataupun melakukan kaderisasi kaum perempuan secara serius. Sehingga penjaringan caleg perempuan pun terjebak pada formalitas belaka. Tidak mengherankan apabila masyarakat pesimistis kepada caleg perempuan ataupun kepada mereka yang sudah duduk di parlemen.
Persoalan kualitas murni tanggungjawab parpol. Disamping calegnya juga harus punya kapabilitas. Tentu hal ini dipengaruhi oleh proses kaderisasi dan pengalaman-pengalaman celeg tersebut tentunya.
Selain persoalan tersebut caleg perempuan juga mengalami sebuah kenyataan bahwa urgensi peran politiknya masih banyak dipertanyakan publik. Perempuan juga memiliki kekurangan termasuk lemahnya SDM khususnya pendidikan, skil yang professional. Serta terbatasnya perempuan berkualitas dan memiliki kualifikasi dalam dunia politik, misalnya leadership, organisasi, public speaking, lobbying dan mempengaruhi massa. Disinilah dibutuhkan kejelian masyarakat dalam memilih calon mereka sebagai wakil rakyat.
Substansi affirmative action tidak lain adalah agar perempuan memiliki 30 persen suara diparlemen. Di beberapa Negara seperti Afrika misalnya affirmative action telah membawa dampak perubahan nyata dalam pembuatan kebijakan. Di Indonesia kebijakan ini telah diterapkan kurang lebih lima tahun sejak tahun 2009. Pada tahun 2004 proporsi perempuan diparlemen hanya 11,81 persen. Sedangkan pada tahun 2009 proporsinnya bertambah menjadi 18 persen. Hal tersebut menunjukkan peningkatan yang cukup besarsecara kuantitas bagi perempuan diparlemen. Namun pada kenyataannya angka tersebut secara kualitas belum cukup untuk membawa perubahan signifikan diparlemen.
Sebuah survey yang dilakukan oleh Litbang Kompas menunjukkan bahwa masyarakat menganggap kehadiran perempuan di parlemen belum membawa perubahan nyata dimasyarakat. Bahkan 50 persen lebih menunjukkan ketidak puasannya pada perempuan diparlemen. Bisa dibayangkan bahwa jumlah 18 persen belum bisa mempengaruhi pengambilan keputusan di parlemen. Setidaknya ini menunjukkan aspirasi perempuan di parlemen belum terakomodir dengan jumlah tersebut.
Terlepas dari fakta tersebut secara kuantitas politisi perempuan memang sedikit diparlemen, tetapi kualitas politisi perempuanpun memiliki andil besar dalam mempengaruhi kebijakan.

Akhirnya yang menjadi harapan besar kedepan adalah kuota 30 persen benar-benar digunakan oleh parpol sebagai momentum melakukan kaderisasi bagi kader perempuan. Sehingga mencetak kader-kader perempuan yang memiliki kapabilitas atau kualitas yang tidak kalah dari kader laki-laki. Semoga! []

Minggu, 17 Maret 2013


PRINSIP-PRINSIP POKOK HUKUM INTERNASIONAL
Untuk memahami atau mengerti dengan sebaik-baiknya prinsip-prinsip pokok Hukum Internasional, maka pertama-tama harus diketahui apa yang menjadi definisi atau batasan dari Hukum Internasional itu sendiri. Definisi atau batasannya bukan sesuatu yang bersifat statis, melainkan bersifat dinamis sebab batasan atau pengertiannya senantiasa harus disesuaikan dengan dinamika dan kebutuhan masyarakat internasional tempat di mana hukum internasional itu tumbuh, berkembang dan berlaku. J.G. Starke dalam bukunya Stark”s International Law mengemukakan definisi Hukum Internasional (International Law) sebagai berikut :
Hukum Internasional adalah sekumpulan hukum yang untuk sebagian besar terdiri dari azas-azas dan peraturan-peraturan tingkah laku di mana negara-negara itu sendiri merasa terikat dan menghormatinya, dan dengan demikian mereka (negara-negara) itu juga harus menghormati atau mematuhinya dalam hubungannya satu sama lain, dan yang juga mencakup : a) peraturan-peraturan hukum yang berkenaan dengan berfungsinya lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi internasional, hubungan antara organisasi internasional dengan organisasi internasional lainnya, hubungan antara organisasi internasional dengan negara serta hubungan antara organisasi internasional dengan individu ; b) peraturan-peraturan hukum tertentu yang berkenaan dengan individu-individu dan subyek-subyek hukum bukan negara (non state entities) sejauh hak-hak dan kewajiban individu dan subyek hukum bukan negara itu bersangkut paut dengan persoalam masyarakat internasional.
Definisi ini melampaui definisi tradisional tentang hukum internasional sebagai sebuah system yang semata-mata terdiri dari aturan-aturan yang mengatur hubungan antar negara semata-mata. Batasan yang bersifat tradisional seperti itu yang hanya dibatasi pada tingkah laku negara-negara dalam hubungannya satu sama lain dapat ditemukan dalam kebanyakan karya tulisan hukum internasional lama yang digunakan sebagai standar, tetapi dilihat dari segi perkembangan hukum internasional selama lima puluh tahun terakhir, definisi tradisional tersebut tidak memberikan gambaran komprehensif mengenai semua aturan yang kini diakui menjadi bagian dari hukum internasional itu sendiri.
Perkembangan Hukum Internasional yang terjadi selama beberapa dasawarsa terutama menyangkut : a) pembentukan sejumlah besar lembaga-lembaga atau organisasi internasional yang bersifat permanent seperti misalnya Perserikatan Bangsa-Bangsa serta Badan-Badan Khusus PBB (Specialized Agencies) yang dianggap memiliki international legal personality dan dianggap dapat mengadakan hubungan satu sama lain maupun mengadakan hubungan dengan negara; b) adanya gerakan yang disponsori atau diprakarsai oleh PBB dan Dewan Eropa (Council of Europe) guna melindungi hak-hak azasi manusia serta kebebasan fundamental dari individu, terbentuknya aturan-aturan atau kaidah-kaidah guna menghukum orang-orang yang melakukan kejahatan internasional seperti genosida (genocide) atau kejahatan pemusnahan ras (lihat Genocide Convention 1948 yang berlaku pada tahun 1951) serta dibebankannya kewajiban pada individu berdasarkan keputusan dari Tribunal Militer Internasional di Nuremberg atau disebut pula Peradilan Nuremberg tahun 1946 yang menetapkan kejahatan terhadap perdamaian dunia (crimes against peace), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) serta konspirasi untuk melakukan kejahatan-kejahatan seperti itu sebagai kejahatan internasional ; c) Pembentukan Mahkamah Kriminal Internasional (International Criminal Court atau disingkat ICC) yang bekedudukan di Den Haag berdasarkan Statuta Roma yang ditandatangani pada tahun 1993 dan kemudian telah berlaku sejak tahun 2002.
Berdasarkan Statuta Roma, siapapun yang terlibat dalam kejahatan terhadap perdamaian dunia, kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan, kejahatan genosida ataupun berbagai kejahatan kemanusiaan lainnya seperti kejahatan terorisme dapat diajukan ke depan ICC tanpa melihat apakan mereka adalah Kepala Negara, Kepala Pemerintahan, pejabat tinggi negara ataupun pejabat militer, tetapi harus diingat bahwa yurisdiksi ICC ini baru bisa diakses setelah semua upaya hukum setempat tidak berhasil dalam mewujudkan keadilan terhadap keluarga korban. d) Terbentuknya mahkamah kriminal internasional yang bersifat adhoc, seperti misalnya apa yang dinamakan The International Criminal Tribunal for the Former Yugoslav (ICTY) dan The International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) yang bertujuan untuk mengadili individu-individu yang terlibat dalam berbagai kejahatan kemanusiaan tanpa menghiraukan apakah mereka kepala negara, kepala pemerintahan, pejabat tinggi negara atau pemerintahan baik dari kalangan sipil maupun militer. Namun pembentukannya tidak didasarkan pada Statuta Roma. Melainkan pada Resolusi Dewan Keamanan PBB pada tahun 1993 dan 1994. e) Pembentukan Uni Eropa (European Union) berdasarkan perjanjian internasional yang disebut Perjanjian Mastricht pada tahun 1990 an yang merupakan kesepakatan dari sebagian besar dari negara-negara di Benua Eropa untuk membentuk dan menerapkan Sistem Pasar Tunggal dan menggunakan Mata Uang Euro sebagai Mata Uang Tunggal; e) Perhimpunan Negara-Negara Asia Tenggara yang terbentuk melalui Deklarasi ASEAN tahun 1967 dengan tujuan untuk meningkatkan kerjasama dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya dan bukan dalam bidang politik dan militer, yang dewasa ini telah berkembang sedemikian rupa sehingga selain jumlah anggotanya telah bertambah dari 5 menjadi 10, juga negara-negara anggotanya dewasa ini telah berhasil dalam menyusun dan merumuskan apa yang disebut Piagam ASEAN.
Piagam ini akan terdiri dari Pembukaan dan 12 pasal. Pasal 1 mengatur tentang Tujuan dan Prinsip-prinsip dari Organisasi ASEAN. Pasal 2 mengenai Status Hukum (Legal Personality) dari Organisasi ASEAN. Pasal 3 mengenai Keanggotaan ( Membership). Pasal 4 mengenai Organ-Organ (Organs). Pasal 5 mengenai berbagai kekebalan dan hak-hak istimewa yang melekat pada Organisasi ASEAN (Immunities and Privileges). Pasal 6 mengenai Pengambilan Keputusan (Decision Making) oleh Organisasi ini. Pasal 7 mengenai Penyelesaian Sengketa (Dispute Settelement). Pasal 8 mengenai Anggaran dan Keuangan (Budget and Finance). Pasal 9 mengenai Administrasi dan Prosedur (Administration and Procedure). Pasal 10 mengenai Identitas dan Simbol (Identity and Symbol). Pasal 11 mengenai Hubungan Eksternal (External Relations). Pasal 12 mengenai Ketentuan Umum dan Ketentuan Penutup (General and Final Provisions).
ASEAN mempunyai tekad kuat untuk memiliki sebuah landasan hukum yang kuat bagi organisasi 10 negara di wilayah Asia Tenggara. Betapapun alotnya pembahasan piagam tersebut, para Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan sudah menetapkan Piagam ASEAN itu sudah harus ditandatangani pada KTT ASEAN tahun 2007 di Singapura atau pada akhir tahun 2007 ini. Piagam ASEAN ini akan memberikan status hukum yang jelas bagi ASEAN sehingga dapat mentransformasikan ASEAN menjadi sebuah organisasi yang berlandaskan aturan. Piagam ASEAN juga akan memberikan kerangka hukum untuk mencapai atau mewujudkan Komunitas ASEAN, sekaligus menegaskan tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip ASEAN. Piagam ASEAN ini diharapkan pula dapat menjadi pedoman dalam menyelesaikan pesengketaan yang mungkin terjadi di antara para anggotanya di kemudian hari. Di samping itu yang terpenting adalah membuat Organisasi ASEAN memiliki kemampuan yang lebih besar untuk menghadapi tantangan-tantangan tradisional maupun nontradisional. Demikian antara lain lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi internasional yang terbentuk memberikan kontribusi yang sangat besar dalam proses pembentukan dan pengembangan hukum internasional masa kini sebab semuanya ini memiliki kapasitas atau kemampuan untuk berinteraksi dan mengadakan hubungan baik dengan sesama organisasi atau lembaga internasional maupun dengan negara serta individu.
Selanjutnya Mochtar Kusumaatmadja dalam bukunya Pengantar Hukum Internasional menyatakan Hukum Internasional adalah:
keseluruhan kaidah-kaidah dan azas-azas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara-negara (hubungan internasional) antara negara dengan negara, antara negara dengan subyek hukum lain yang bukan negara, ataupun antara subyek hukum lain bukan negara satu sama lainnya.”
Definisi Hukum Internasional sebagaimana dipaparkan di atas pada hakekatnya menunjukkan pengertian yang sama (walaupun dengan rumusan yang berbeda) karena definisi tersebut secara jelas memberikan gambaran mengenai subyek-subyek hukum internasional atau pelaku-pelaku atau aktor-aktor dalam masyarakat internasional. Subyek-subyek hukum ini tidak hanya terbatas pada negara saja kendatipun negara adalah merupakan subyek utama dalam hukum internasional, namun negara bukan satu-satunya sebagai subyek hukum internasional karena di samping negara, juga ternyata ada subyek-subyek hukum internasional lain seperti lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi internasional, subyek-subyek hukum yang bukan negara yang sangat bevariasi dan beranekaragam dan juga individu yang juga memiliki hak-hak serta kewajiban internasional yang didasarkan atas hukum internasional. Selain memberikan deskripsi mengenai subyek-subyek hukum internasional, juga definisi tersebut di atas mendeskripsikan bahwa subyek-subyek hukum itu dapat melakukan interaksi atau hubungan satu sama lain, baik hubungan antara negara dengan negara, negara dengan organisasi internasional, organisasi internasional yang satu dengan organisasi internasional lainnya, negara ataupun organisasi internasional dengan subyek hukum lain seperti pihak belligerensi, korporasi (nasional dan multinasional) maupun individu, semuanya ini dapat menjadi aktor-aktor penting dalam masyarakat dunia yang dapat memberikan kontribusi dalam pembentukan kaidah-kaidah hukum internasional.
Melalui hubungan yang dilakukan oleh subyek-subyek hukum internasional baik hubungan antarsesama subyek hukum internasional maupun hubungan dengan yang bukan sesamanya, pada akhirnya akan melahirkan azas-azas serta kaidah-kaidah hukum interna sional. Segala hal yang telah diuraikan di atas terkait dengan batasan hukum internasional khususnya batasan hukum internasional yang dikemukakan oleh J.G. Starke adalah sejalan dengan apa yang pernah dikemukakan oleh Komar Kantaatmaja bahwa pendekatan hukum internasional modern melihat permasalahannya dari dua macam pendekatan, yakni dari pendekatan statik serta pendekatan dinamik. Pendekatan statik dalam hukum internasional melihat dari segi teoretik doktriner dan interpretasi yang diciptakan dari sejarah pembentukannya dan segala perangkat yang berkaitan dengan permasalahan tersebut. Pendekatan dinamik melihat dari bagaimana sebuah konsep berkembang dari bentuk asalnya menjadi bentuk masa kini yang sesuai dengan dinamika perkembangan dan kebutuhan masyarakat internasional masa kini.
Oleh karena itu perkembangan dinamik ini memberi ciri dan bentuk baru terhadap berbagai aspek kehidupan dari masyarakat internasional sekarang dalam perkembangannya menuju suatu perangkat kaidah hukum internasional masa mendatang.
Sumber: Komar Kantaatmadja, “Evolusi Hukum Kebiasaan Internasional”, 1988, Hlm.1.

PENGERTIAN TEORI HUKUM, FILSAFAT HUKUM DAN YURISPRUDENCE
Teori hukum
adalah disiplin hukum yang secara kritikal dalam perspektif interdisipliner menganalisis berbagai aspek dari hukum secara tersendiri dan dalam keseluruhannya, baik dalam konsepsi teoritikalnya maupun dalam pengolahan praktikalnya dengan tujuan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dan penjelasan yang lebih jernih tentang bahan-bahan hukum tersaji.
Pokok kajian teori hukum :
§    Analisis hukum yaitu upaya pemahaman tentang struktur sistem hukum, sifat dan kaidah hukum, pengertian dan fungsi asas-asas hukum, unsure-unsur khas dari konsep yuridik (subyek hukum, kewajiba hukum, hak, hubungan hukum, badan hukum, tanggunggugat, dsb)
§   Ajaran metode yaitu metode dari ilmu hukum (dogmatik hukum), metode penerapan hukum (pembentukan hukum dan penemuan hukum), teori perundang-undangan, teori argumentasi yuridik (teori penalaran hukum).
§   Ajaran ilmu (epistemologi) dari hukum dengan mempersoalkan karakter keilmuan ilmu hukum
§   Kritik ideology yaitu kritik terhadap kaidah hukum positif, menganalisis kaidah hukum positif, menganalisis kaidah hukum untuk menampilkan kepentingan dan ideologi yang melatarbelakangi aturan hukum positif (undang-undang)
Filsafat hukum adalah filsafat yang objeknya khusus hukum
Pokok kajian filsafat hukum :
§   Ontologi hukum yaitu ilmu tentang segala sesuatu (Merefleksi hakikat hukum dan konsep-konsep fundamental dalam hukum, seperti konsep demokrasi, hubungan hukum dan kekuasaan, hubungan hukum dan moral).
§   Aksiologi hukum  yaitu ilmu tentang nilai (Merefleksi isi dan nilai-nilai yang termuat dalam hukum seperti kelayakan, persamaan, keadilan, kebebasan, kebenaran, dsb)
§   Ideologi hukum yaitu ilmu tentang tujuan hukum yang mengangkut cita manusia (Merefleksi wawasan manusia dan masyarakat yang melandasi dan melegitimasi kaidah hukum, pranata hukum, sistem hukum dan bagian-bagian dari sistem hukum).
§   Teleologi hukum yaitu ilmu tentang tujuan hukum yang menyangkut cita hukum itu sendiri (Merefleksi makna dan tujuan hukum)
§   Epistemologi yaitu ilmu tentang pengetahuan hukum (Merefleksi sejauhmana pengetahuan tentang hakikat hukum dan masalah-masalah fundamental dalam filsafat hukum mungkin dijalankan akal budi manusia)
§   Logika hukum yaitu ilmu tentang berpikir benar atau kebenaran berpikir (Merefleksi atran-aturan berpikir yuridik dan argumentasi yuridik, bangunan logical serta struktur sistem hukum)
§   Ajaran hukum umum
Yurisprudence adalah ilmu yang mempelajari pengertian dan sistem hukum secara mendalam
Pokok kajian yurisprudence :
-     Logika hukum
-     Ontologi hukum (penelitian tentang hakekat dari hukum)
-     Epistemologi hukum (ajaran pengetahuan)
-     Axiologi (penentuan isi dan nilai)
Filsafat Hukum Dalam Kaitan Dengan Hakekat Hukum
Filsafat hukum merupakan ilmu pengetahuan yang berbicara tentang hakekat hukum atau keberadaan hukum. Hakekat hukum meliputi :
1. Hukum merupakan perintah (teori imperatif)
Teori imperatif artinya mencari hakekat hukum. Keberadaan hukum di alam semesta adalah sebagai perintah Tuhan dan Perintah penguasa yang berdaulat
Aliran hukum alam dengan tokohnya Thomas Aquinas dikenal pendapatnya membagi hukum (lex) dalam urutan mulai yang teratas, yaitu :
·         Lex aeterna (Rasio Tuhan yang tidak dapat ditangkap oleh manusia, yang disamakan hukum abadi)
·         Lex divina (Rasio Tuhan yang dapat ditangkap oleh manusia)
·         Lex naturalis (Penjelmaan dari Lex aeterna dan Lex divina)
·         Lex positive (hukum yang berlaku     merupakan tetesan dari Lex divina        kitab suci
Aliran positivisme hukum     Jhon Austin beranggapan bahwa hukum berisi perintah, kewajiban, kedaulatan dan sanksi. Dalam teorinya yang dikenal dengan nama “analytical jurisprudence” atau teori hukum yang analitis bahwa dikenal ada 2 (dua) bentuk hukum yaitu positive law (undang-undang) dan morality (hukum kebiasan).
2. Kenyataan sosial yang mendalam (teori indikatif)
Mahzab sejarah : Carl von savigny beranggapan bahwa hukum tidak dibuat melainkan tumbuh dan berkembang bersama-sama dengan masyarakat.
Aliran sociological jurisprudence dengan tokohnya Eugen Eurlich dan Roscoe Pound dengan konsepnya bahwa “hukum yang dibuat agar memperhatikan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) baik tertulis malupun tidak tertulis”.
·         Hukum tertulis atau hukum positif
Hukum posistif  atau Ius Constitutum yaitu hukum yang berlaku di daerah (negara) tertentu pada suatu waktu tertentu.
Contoh : UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
·         Hukum tidak tertulis
-   Hukum kebiasaan yaitu kebiasaan yang berulang-ulang dan mengikat para pihak yang terkait
-   Hukum adat adalah adat istiadat yang telah mendapatkan pengukuhan dari penguasa adat
-   Traktat atau treaty adalah perjanjian yang diadakan antar dua negara atau lebih dimana isinya mengikat negara yang mengadakan perjanjian tersebut.
-   Doktrin adalah pendapat ahli hukum terkemuka
-   Yurisprudensi adalah kebiasaan yang terjadi di pengadilan yang berasaskan “azas precedent” yaitu pengadilan memutus perkara mempertimbangkan putusan kasus-kasus terdahulu yang di putus (common law)
3. Tujuan hukum (teori optatiif)
·         Keadilan
Menurut Aristoteles sebagai pendukung teori etis, bahwa tujuan hukum utama adalah keadilan yang meliputi :
-   Distributive, yang didasarkan pada prestasi
-   Komunitatif, yang tidak didasarkan pada jasa
-   Vindikatif, bahwa kejahatan harus setimpal dengan hukumannya
-   Kreatif, bahwa harus ada perlindungan kepada orang yang kreatif
-   Legalis, yaitu keadilan yang ingin dicapai oleh undang-undang
·         Kepastian
Hans kelsen dengan konsepnya (Rule of Law) atau Penegakan Hukum. Dalam hal ini mengandung arti :
-   Hukum itu ditegakan demi kepastian hukum.
-   Hukum itu dijadikan sumber utama bagi hakim dalam memutus perkara.
-   Hukum itu tidak didasarkan pada kebijaksanaan dalam pelaksanaannya.
-   Hukum itu bersifat dogmatic.
·         Kegunaan
Menurut Jeremy Bentham, sebagai pendukung teori kegunaan, bahwa tujuan hukum harus berguna bagi masyarakat untuk mencapai kebahagiaan sebesar-besarnya.
Filsafat Hukum Dalam Kaitan Dengan Perundang-undangan
1. Pembukaan UUD 1945
§    Pembukaan alenia pertama, secara substansial mengandung pokok prikeadilan, konsep pemikiran yang mengarah kepada kesempurnaan dalam menjalankan hukum didalam kehidupan.
§    Pembukaan alenia kedua, adil dan makmur, merupakan implementasi dari tujuan hukum yang pada dasarnya yaitu memberikan kesejahteraan kepada masyarakat.
§    Pembukaan alenia ketiga, mengatur mengenai hubungan manusia dengan Tuhan atau penciptanya yang telah mengatur tatanan di dunia ini.
§    Pembukaan alenia keempat, mengenai lima sila dari Pancasila yang merupakan cerminan dari nilai-nilai bangsa yang diwariskan turun-temurun dan abstrak yang Pancasila merupakan kesatuan sistem yang berkaitan erat tidak dapat dipisahkan.
2. Undang-undang yaitu terdapat dalam Konsideran (pertimbangan) atau isinya(pasal-pasalnya)
Aliran Hukum Dalam Filsafat Hukum
1. Aliran Hukum Alam
Yaitu aliran yang konsepsinya bahwa hukum berlaku universal dan abadi.
Tokohnya Plato, Aristoteles, Thomas Aquinas, Grotius.
·         Plato
·         Aristoteles dalam teori dualisme bahwa manusia bagian dari alam dan manusia adalah majikan dari alam
·         Thomas Aquinas
·         Grotius dengan kosepnya “mare liberium
Kelebihan aliran hukum alam : mengembangkan dan membangkitkan kembali orang untuk berfilsafat hukum dalam mencari keadilan, mengembangkan perlindungan terhadap HAM, mengembangkan hukum internasional.
Kekurangan aliran hukum alam : anggapan bahwa hukum berlaku universal dan abadi itu tidak ada karena hukum selalu disesuaikan dengan kebutuhan manusia dan perkembangan zaman.
2. Aliran Positivisme Hukum
Yaitu aliran yang konsepnya bahwa hukum merupakan perintah dari penguasa berdaulat (Jhon Austin) dan merupakan kehendak dari pada Negara (Hans Kelsen).
3. Mahzab Sejarah (historical jurisprudence)
Yaitu aliran hukum yang konsepnya bahwa hukum tidak dibuat melainkan tumbuh dan berkembang bersama-sama dengan masyarakat. Tokoh : Carl von Savigny
4. Aliran Sociological Jurisprudence
Yaitu aliran hukum yag konsepnya bahwa huku yang dibuat agar memperhatikan hukum yang hidup dalam masyarakat atau living law baik tertulis maupun tidak tertulis. Tokoh : Eugen Ehrlich
5. Aliran Pragmatic Legal Realism
Yaitu aliran hukum yang konsepnya bahwa hukum dapat berperan sebagai alat pembaharuan masyarakat. Tokoh : Roscoe Pound
6. Aliran Marxis Yurisprudence
Yaitu aliran yang konsepnya bahwa hukum harus memberikan perlindungan terhadap golongan proletar atau golongan ekonomi lemah. Tokoh : Lenin, Bernstein, Gramsci, Horkheimer, Marcuse.
7. Aliran Anthropological Jurisprudence
Yaitu airan yang konsepnya bahwa hukum mencerminkan nilai sosial budaya (Northrop), hukum mengandung system nilai (Mac Dougall)
8. Aliran Utilitariannism
yaitu aliran yang konsepnya bahwa hukum memberikan kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi orang sebanyak-banyaknya (the greatest happines for ter greatest number).
Tokoh : Jhon Lucke
9. Mahzab Unpad, yaitu aliran yang konsepnya bahwa hukum dapat berfungsi sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Tokoh : Mochtar Kusumaatmadja.
§    Hukum tidak meliputi asas dan kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat termasuk lembaga dan proses didalam mewujudkan kaedah itu dalam kenyataan.
§    Hukum adalah keseluruhan kaedah dan asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, termasuk lembaga dan proses dalam mewujudkan berlakunya hukum.