Minggu, 23 Maret 2014

 Dua Pilar Utama Demorasi; Demokrasi Perwakilan vs Civil Liberties

Ketika parlementarisme (faham yang meyatakan bahwa kekuasaan berada ditangan rakyat yang dimanifestasikan kedalam dan melalui parlemen) menjadi mode of politics dalam demokrasi yang dikembangkan oleh masyarakat Eropa abad 18-19, banyak pertanyaan oleh publik tentang kedaulatan rakyat, misalnya siapakah yang disebut “rakyat” atau perwakilan dan keterwakilan rakyat”. Hal tersebut menggerogoti kepercayaan tentang apakah parlementarisme merupakan idealisasi dari demokrasi. Persoalan ini menjadi mengedepan ketika dibayangkan bahwa demokrasi perwakilan sebagai wujud parlementarisme sesungguhnya merupakan demorasi yang sangat elitis karena hanya melibatkan sebagian golongan masyarakat kecil.
Gerakan yang lebih populis diprakarsai oleh kelompok intelektual yang berkoalisi dengan kelompok tertindas utamanya buruh industri dan petani miskin di Eropa abad ke-19, telah berhasil menggoyahkan kepercayaan sebagian orang terhadap praktik demokrasi perwakilan, dan menghasilkan koreksi total terhadap demokrasi perwakilan. Juga berkembang kepercayaan baru bahwa konsep “rakyat dan perwakilan” harus menyertakan proses yang adil bagi semua orang, juga kepercayaan bahwa demokrasi hanya bermakna apabila pengakuan terhadap hak sipol idividu diberikan, dijamin, dan dihormati. Gagasan inilah yang melekat dalam sebah konsep Civil Liberties (warga negara memiliki hak yang tidak dapat dikurangi untuk berpatisipasi secara langsung dalam mempengaruhi proses politik, sekalipun telah hadir sebuah parlemen yang telah dibentuk melalui pemilihan umum yang bebas).
Dalam konteks sejarah tersebut civil liberties dilahirkan melengkapi praktik demokrasi perwakilan. Sehingga demokrasi tidak saja ditentutkan dengan hadirnya parlemen, pejabat publik yang dipilih secara demokratis, partai poitik beserta pemilihan umum yang jujur dan adil, namun juga pengakuan terhadap hak individu baik secara sendiri maupun kelompok, untuk menyatakan pikiran dan pendapatnya, dan secara langsung dan berpartisipasi dalam pembuatan keputusan politik serta kontrol terhadap bagaimana kekuasaan itu dijalankan. Sejarah menunjukkan terjadi pergeseran mendasar bagaiaman demokrasi dipraktikkan, dari orientasinya kepada perlementarisme elitis  menuju parlementarisme populis dengan pengakuan terhadap civil liberties yang mencakup hak dasar warga negara. Tumbuhnya tradisi berpartai, berorganisasi politik serta mendirikan organisasi kepentingan dan pers bebas merupakan peristiwa sejarah yang amat khusus. Hal tersebut berbeda dari demokrasi perwakilan awal. Parlementarisme digerakkan oleh kepentingan elite (tuan tanah, pemodal dan bangsawan). Civil liberties dihasilkan oleh perjuangan kelompok tertindas dan kelompok yang terancam oleh praktik demokrasi elitis. Inilah oleh ahli sejarah dan ilmu sosial dilihat sebagai sumbangan terpenting dari aliansi golongan kelas menengah dan bawah terhadap demokrasi modern.
Beberapa Pola Perkembangan Awal Demokrasi Modern 
(Kasus Amerika, Inggris dan Prancis)

Tahun 1760-1919 oleh para ahli sejarah disebut sebagai “Abad kesembilan belas yang lama”, sebab pada saat itu terjadi sebuah perubahan sosial yang sangat penting dan menjadi dasar dari terbentuknya gagasan dan institusi pokok yang dikemudian hari menjadi dasar dari negara demokrasi modern. Revolusi industri awalnya terjadi di Inggris pada pertengahan abad ke-17, mendorong perubahan yang sangat mendasar dalam distribusi kekuatan ekonomi dan stratifikasi sosial di Inggris dan masyarakat Eropa pada umumnya. Setelah revolusi industri di Inggris segera disusul oleh revolusi Amerika (1776-1787) dan revolusi Prancis (1789-1799). Perkembangan demokrasi di Inggris ditandai oleh sejarah yang sangat panjang. Perkembangan paling awal dapat ditelusuri pada abad ke-17, ditandai oleh perjanjian Raja John I (1176-1216) dengan para tuan tanah yang disebut baron yang menghasilkan piagam “Magna Charta”. Hal tersebut menjadi tonggak sejarah yang sangat penting. Magna charta menghasilkan diktum “tidak ada keputusan yang dapat dianggap sebagai sah sebelum mendapat persetujuan dari pihak-pihak yang akan terkena keputusan itu.” Diktum tersebut kemudian menjadi salah satu ajaran dalam demokrasi modern, dan dari situlah muncul prinsip “persetujuan” (agreement) serta mendapat akar sejarahnya yang kuat dalam praktik demokrasi modern.
Berakhirnya perang saudara (1640-1649) menghasilkan pemerintahan monarkhi di Inggris Raya. Setelah terjadinya revolusi industri, tekanan terhadapa absolutisme semakin menguat, yang dalam perkembangannya kemudian menghasilkan pembentukan dua lembaga parlemen; House of Lodrs dan House of Commons. Dalam perkembangannya Reform Act I (1867), Reform Act II (1884), dan Reform Act III (1885) secara berturut-turut mengubah sistem pemilihan dan perwakilan yang lebih demokratis: mencakup warga negara hingga di pedesaan. Perempuan mendapat hak politiknya secarah penuh pada 1929.
Di Amerika, apa yang awalnya merupakan gerakan anti-imperial Inggris berubah menjadi perjuangan nasional untuk demokrasi, bahkan kemerdekaan, diantaranya dibawah slogan “no taxation without representation” (tidak ada pajak tanpa perwakilan). Secara luas dikenal dengan nama Revolusi Amerika. Walaupun Revolusi Amerika (dimulai pada pernyataan kemerdekaan tahun 1776 sampai perubahan konstitusi Amerika yang baru tahun 1778) telah menghasilkan landasan bagi demokrasi modern, namun untuk waktu yang lama, kaum perempuan, indian dan kulit hitam tidak memiliki hak pilitik yang sama dengan warga negara Amerika lainnya. Bahkan kulit hitam Amerika tetap mengalami eksklusi sosial dan pilitik meskipun perang saudara (1861-1865) berhasil menghapuskan perbudakan. Setelah perang dunia I berakhir (1914-1918) kaum perempuan Amerika mendapat hak pilih dan dipilih. Setelah disahkannya Civil Right Acts (1964) dan Voter Registration Act (1965), kelompok kulit hitam Amerika baru mendapatkan hak politiknya secara penuh sebagai warga negara.
Sedangkan gerakan demokratisasi di Prancis dimulai ketika terjadi Revolusi Prancis (1789-1799) dan berhasil menyingkirkan pemerintahan monarki absolut yang bertahan selama 200 tahun. Terbentuknya majelis nasional menggantikan lembaga serupa yang dimonopoli kaum bangsawan, tuan tanah dan gereja merupakan awal terbentuknya parlemen yang melampaui batas sosial dan ekonomi. Konstitusi pertama (1791) mengusulkan pemerintahan monarki konstitusional yang ditolak oleh kaum bangsawan segera disusul dengan deklarasi republik pertama, ditandai eksekusi terhadap Louis XVI (1793). Monarki dan imperium Prancis dibentuk kembali oleh Napoleon Bonaparte (1799) dan meggagalkan pembentukan republik pertama. Prancis kembali ke monarki (1815) setelah napoleon dikalahkan oleh Inggris. Republik Prancis kedua dibentuk pada 1884 dimotori oleh  kaum radikal, pedagang, dan petani ketika terjadi kudeta oleh Louis Napoleon (Napoleon III, 1851). Gerakan melawan monarki dilanjutkan oleh kaum radikal republik, menghasilkan Prancis ketiga (1875). Dalam perkembangannya menjadi dasar bagi demokrasi Prancis modern.
Demokrasi Sebagai Sebuah Konsepsi dan Perkembangannya
Dalam pengertian klasik, demokrasi setidaknya diartikan sebagai “pemerintahan rakyat”. Sedangkan dalam pengertian yang lebih modern dan populer, demokrasi kemudian diberi makna “pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat”. Kata “rakyat” memiliki sebuah penekanan penting, sebab dalam konsep maupun praktik demokrasi, rakyat merupakan sumber otoritas dari sebuah pemerintahan absolut. Sama halnya dengan raja yang sumber otoritasnya berasal dari kekuasaan turun temurun. Sebagai sebuah konsepsi maupun praktik, demokrasi mengalami sebuah perkembangan yang sangat panjang melalui perjalanan historis. Awalmulanya dipraktikkan di Athena dalam bentuk demokrasi langsung, kurang lebih pada tahun 500 SM.
Demokrasi dalam perkembangan selanjutnya harus menerima elemen “perwakilan”, hal tersebut sebagai sebuah keniscayaan dengan alasan pemerintahan langsung oleh rakyat keseluruhan tidak mungkin dilakukan dalam masyarakat yang relatif jauh lebih besar jumlahnya, dibanding dengan kota asal konsepsi demokrasi itu lahir dan dipraktikkan pertamakali. Sebagai konsepsi maupun praktik, sejak dan sesudah abad-18 prinsip perwakilan merupakan hal yang melekat dalam pengertian demokrasi. Prinsip perwakilanpun sudah mengalami perjalanan cukup panjang, sampai sebelum berakhirnya akhir abad-19 prinsip perwakilan hanya merujuk pada sejumlah kelompok kecil masyarakat, tidak semua warga negara memiliki hak memilih atau dipilih. Di Eropa, berawal di Inggris, anggota parlemen hanya mereka yang berasal dari kelompok bangsawan dan tuan tanah, hal tersebut tidak lebih sekedar pendamping kekuasaan para raja. Sampai akhir abad-18 dua kelompok masyarakat inilah menjadi kelas sosial yang secara eksklusif memiliki hak istimewa dalam sistem perwakilan.

Menjelang peralihan ke abad-20, akhirnya prinsip perwakilan mengalami perubahan makna yang sangat berarti, yaitu juga mencakup pengertian rakyat dalam arti yang lebih luas. Tidak hanya itu, konsepsi demokrasi juga telah menyentuh hal yang paling mendasar dari hubungan kekuasaan, yaitu mensyaratkan hadirnya relasi-relasi yang bebas, merdeka di antara warga negara. Sebelum tahun 1760 tidak satupun negara di dunia ini mengadopsi pemerintahan demokratik dalam pengertian yang dipakai sekarang, hingga pada akhir abad 20, lebih dari separuh jumlah negara-negara di dunia telah mengadopsi demokrasi.

Rabu, 05 Februari 2014

Demokrasi dan Penegakan Hukum

Demokrasi dan penegakan hukum ibarat dua sisi dari mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Sebab, ketiadaan salah satu dari keduanya dapat menyebabkan situasi ekstrim yang membuat kehidupan bernegara menjadi bukan hanya tidak sehat, tetapi sangat membahayakan. Demokrasi dalam arti kebasan yang tanpa batas, dapat melahirkan situasi ekstrim berupa anarki. Sebaliknya, hukum yang tidak memberikan kesempatan kepada warga Negara untuk berdaya sesungguhnya adalah tirani. Karena itu, demokrasi harus seimbang dengan penegakan hukum, sehingga kebebasan individu dapat berjalan secara tertib dan tidak kontradiktif antara satu dengan yang lain.
Pemerintahan dalam sistem demokrasi harus terbatas kekuasaannya, sehingga tidak ada kesemenangan terhadap warga negara. Bahkan mereka berkewajiban untuk memberikan jaminan kepada setiap warga Negara untuk tidak hanya mendapatkan kehidupan yang aman, tetapi juga layak bagi kemanusiaan.
Penegakan hukum sangat diperlukan untuk menjadikan demokrasi menjadi sistem politik yang ideal untuk dilaksanakan. Harus diakui bahwa demokrasi bukan sistem politik yang sempurna. Demokrasi juga mengandung berbagai cacat bawaan yang salah satu cara mengatasinya adalah menegakkan supresimasi hukum. Jika kebebasan yang luas kepada setiap warga Negara berpotensi melahirkan anarki, maka kekuasaan yang besar bagi para penyelenggara negara, karena legitimasi yang kuat dari rakyat berpotensi melahirkan penyelewengan kekuasaan. Hal itu telah terjadi dalam berbagai bentuk praktik korupsi, bahkan di antaranya dilakukan secara kolektif (berjamaah).
Demokrasi yang seimbang dengan penegakan hukum akan menyebabkan kekuasaan terbebas dari absolutisme. Berdasarkan fakta, absolutisme kekuasaan menyebabkan pemiliknya melakukan penyelewengan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Lord Acton, bahwa “kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan yang absolute pasti korup”. Sistem hukum dapat membatasi kekuasaan menjadi tidak absolute bagi individu tertentu. Sebab, kekuasaan harus dijalankan berdasarkan hukum yang disetujui oleh rakyat melalui lembaga legislatif. Hukum yang dimaksudkan adalah formalisasi dari nilai-nilai tertentu yang yakini oleh rakyat sebagai jalan untuk menciptakan atau mewujudkan kebaikan bersama.
Sampai saat ini, bisa dikatakan bahwa Negara hukum masih merupakan cita dan impian. Karena itu, setiap individu, terutama para pemimpin memiliki tanggungjawab untuk membuat agar Negara menjadi sarana untuk mewujudkan keadilan bagi semua.

Terdapat berbagai indikator penegakan hukum dalam sebuah negara. Salah satu indikator terpenting adalah tingkat korupsi. Kecenderungan korupsi, terutama pada penguasa, membuat penegakan hukum menjadi sebuah keniscayaan. Penegakan hukum yang menimbulkan efek jera, sehingga yang melakukannya tidak berani lagi untuk mengulangi tindakan korupsi akan menyebabkan Negara relatif  bersih. Namun, jika hukum tidak ditegakkan, atau ditegakkan tetapi hanya pada kalangan tertentu yang lemah, maka praktik korupsi akan semakin menjamur. Penegakan hukum yang adil untuk semua itulah yang akan mengantarkan Indonesia menjadi negara yang bermartabat. Semoga!