Kuota 30 Persen Perempuan Di Parlemen
Krisis
perempuan diparlemen bukan hanya karena tidak terpenuhinya kuota 30 persen
keterwakilan perempuan di partai politik. Akan tetapi masih kurangnya
kepercayaan masyarakat atau publik terhadap kemampuan dan kualitas politisi
perempuan.
Meskipun
secara relatif tidak ada halangan budaya maupun sosial yang menghambat
perempuan untuk terjun ke dunia politik, namun bukan berarti perempuan akan
mudah melenggang ke parlemen.
Kuota
30 persenatau affirmative action bukan
jaminan bagi caleg perempuan untuk mudah melenggang ke parlemen. Meskipun
aturan tersebut telah diberlakukan sejak tahun 2009. Banyak yang beranggapan
bahwa sebenarnya pemilihan dengan sistem suara terbanyak tidak bersinergi
dengan penerapan kuota 30 persen. Sebab meskipun ada kuota 30 persen bagi caleg
perempuan tetapi akhirnya yang menentukan juga adalah siapa pemilik suara
terbanyak. Akibatnya tujuan affirmative
action pun tidak tercapai.
Padahal
dalam Pasal 55 ayat 2 undang-undang nomor 10 tahun 2008 tentang pemilu
legislatif, sudah diatur sebuah syarat bahwa apabila ada tiga caleg maka satu
diantaranya harus ada caleg perempuan. Masksud dari syarat tersebut adalah agar
caleg perempuan tetap mendapat nomor bagus dan bukan malah nomor buntut. Apabila
coba kita pahami, maka syarat tersebut sebenarnya hanya cocok dengan pemilihan
dengan sistem nomor urut yang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dengan alasan
bertentangan dengan undang-undang dasar.
Hal
lain yang menjadi persoalan terkait dengan affirmative
action adalah perekrutan oleh parpol
peserta pemilu. Kuota 30 persen mewajibkan parpol pada setiap dapil harus
memenuhi kuota tersebut. Bila tidak, maka parpol harus rela kehilangan satu
dapilnya. Meskipun tidak nampak, tapi sepertinya parpol mengalami kesulitan tersendiri
untuk memenuhi kuota 30 persen tersebut.
Hal
ini terbukti dengan adanya beberapa parpol yang kehilangan satu dapilya
lantaran tidak mampu memenuhi kuota tersebut. Sehingga upaya antisipatif yang
dilakukan parpol adalah melakukan “apapun” agar dapat memenuhi kuota tersebut. Salah satu yang bisa kita
saksikan adalah parpol nampaknya tidak lagi melakukan kaderisasi dalam merekrut
anggota. Bahkan parahnya, ada parpol yang membuka lowongan untuk menjaring
caleg. Selama ini memang parpol menerima siapa saja anggota masyarakat yang
ingin menjadi kader partai. Sehingga hasilnya banyak caleg yang merupakan
produk instan dari parpol.
Kuota
30 persen oleh parpol terkesan hanya menjadi legitimasi politik untuk
konstituen partai. Publik melihat parpol tidak menggunakan kuota 30 persen
sebagai medium memperjuangkan kepentingan kaum perempuan ataupun melakukan
kaderisasi kaum perempuan secara serius. Sehingga penjaringan caleg perempuan
pun terjebak pada formalitas belaka. Tidak mengherankan apabila masyarakat
pesimistis kepada caleg perempuan ataupun kepada mereka yang sudah duduk di
parlemen.
Persoalan
kualitas murni tanggungjawab parpol. Disamping calegnya juga harus punya
kapabilitas. Tentu hal ini dipengaruhi oleh proses kaderisasi dan
pengalaman-pengalaman celeg tersebut tentunya.
Selain
persoalan tersebut caleg perempuan juga mengalami sebuah kenyataan bahwa urgensi
peran politiknya masih banyak dipertanyakan publik. Perempuan juga memiliki
kekurangan termasuk lemahnya SDM khususnya pendidikan, skil yang professional.
Serta terbatasnya perempuan berkualitas dan memiliki kualifikasi dalam dunia
politik, misalnya leadership, organisasi, public speaking, lobbying dan
mempengaruhi massa. Disinilah dibutuhkan kejelian masyarakat dalam memilih
calon mereka sebagai wakil rakyat.
Substansi
affirmative action tidak lain adalah
agar perempuan memiliki 30 persen suara diparlemen. Di beberapa Negara seperti
Afrika misalnya affirmative action telah
membawa dampak perubahan nyata dalam pembuatan kebijakan. Di Indonesia
kebijakan ini telah diterapkan kurang lebih lima tahun sejak tahun 2009. Pada
tahun 2004 proporsi perempuan diparlemen hanya 11,81 persen. Sedangkan pada
tahun 2009 proporsinnya bertambah menjadi 18 persen. Hal tersebut menunjukkan
peningkatan yang cukup besarsecara kuantitas bagi perempuan diparlemen. Namun
pada kenyataannya angka tersebut secara kualitas belum cukup untuk membawa
perubahan signifikan diparlemen.
Sebuah
survey yang dilakukan oleh Litbang Kompas menunjukkan bahwa masyarakat
menganggap kehadiran perempuan di parlemen belum membawa perubahan nyata
dimasyarakat. Bahkan 50 persen lebih menunjukkan ketidak puasannya pada
perempuan diparlemen. Bisa dibayangkan bahwa jumlah 18 persen belum bisa
mempengaruhi pengambilan keputusan di parlemen. Setidaknya ini menunjukkan
aspirasi perempuan di parlemen belum terakomodir dengan jumlah tersebut.
Terlepas
dari fakta tersebut secara kuantitas politisi perempuan memang sedikit
diparlemen, tetapi kualitas politisi perempuanpun memiliki andil besar dalam
mempengaruhi kebijakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar