Mekanisme
Penyelesaian Pelanggaran Pemilu
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pada tanggal 9 April 2009, bangsa Indonesia telah
menyelenggarakan pemilihan umum (Pemilu) untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD). Pemilu tahun ini merupakan yang kesebelas kalinya dilaksanakan sejak
Indonesia merdeka. Sejak tahun 2004, sistem
Pemilu yang digunakan berbeda jauh
dengan Pemilu sebelum era
reformasi, dimana sekarang yang menentukan wakil rakyat dan pemimpin adalah
masyarakat sendiri secara langsung. Mengingat demikian pentingnya arti Pemilu
dalam negara yang berlandaskan pada prinsip kedaulatan rakyat, maka
Undang-Undang Dasar 1945 telah mengamanatkan penyelenggaraan Pemilu secara
berkala, yaitu sekali dalam lima tahun.
Dalam kerangka negara demokrasi, pelaksanaan Pemilu
merupakan momentum yang sangat penting bagi pembentukan pemerintahan dan
penyelenggaraan negara untuk periode berikutnya. Pemilu selain merupakan
mekanisme bagi rakyat untuk memilih para wakilnya, juga dapat dilihat sebagai
proses evaluasi dan pembentukan kembali kontrak sosial. Pemilu menyediakan
ruang untuk terjadinya proses “diskusi” antara pemilih dan calon-calon wakil
rakyat, baik sendiri-sendiri maupun melalui partai politik, tentang bagaimana
penyelenggaraan negara dan pemerintahan harus dilakukan. Melalui pemilihan umum rakyat memberikan
persetujuan siapa pemegang kekuasaan pemerintahan dan bagaimana menjalankan
kekuasaan tersebut.
Pemilihan umum
anggota legislatif pada tanggal 9 April 2009 diselenggarakan melalui
berbagai tahapan, mulai dari pendataan calon pemilih, pendaftaran dan penetapan
peserta Pemilu, masa kampanye, pemungutan dan penghitungan suara, penetapan
hasil Pemilu hingga pelantikan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD
kabupaten/kota terpilih. Setiap tahapan tersebut harus dilaksanakan sesuai
dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Untuk menjamin
pelaksanaan Pemilu sesuai dengan asas-asas konstitusional, dibentuk peraturan
perundang-undangan yang mengatur norma dan prosedur pelaksanaan Pemilu yang
harus dipatuhi oleh semua pihak, antara lain Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007
tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Perhelatan akbar
pesta demokrasi nasional untuk memilih calon anggota legislatif pada tanggal 9
April 2009 yang lalu berlangsung penuh warna. Hiruk-pikuk pelaksanaan Pemilu
Indonesia yang melibatkan ribuan calon anggota legislatif guna memperebutkan
sekitar 18.960 kursi, kerap menghiasi pemberitaan utama diberbagai media massa.
Sistem Pemilu yang digunakan di Indonesia, disebut sebagai sistem Pemilu yang
terumit di dunia sehingga benih-benih potensi pelanggaran dan sengketa Pemilu
terjadi hampir disebagian besar daerah pemilihan, khususnya terkait dengan
proses penghitungan suara. Berhubung usia demokrasi di Indonesia masih sangat
muda maka wajar bila ada berbagai pelanggaran maupun sengketa menyangkut hasil
dan proses Pemilu. Permasalahan dan pelanggaran yang terjadi dalam Pemilu
legislatif 9 April lalu secara garis besar dapat dibagi dalam tiga bagian
besar. Pertama, hilangnya hak pilih puluhan juta warga negara Indonesia akibat
tidak beresnya penyusunan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang dikeluarkan oleh KPU.
Kedua, ketidaknetralan Panitia Pemungutan Suara (PPS). Ketiga, tertukarnya
surat suara antar daerah pemilihan.
Salah satu mekanisme penting dalam pelaksanaan Pemilu
adalah penyelesaian pelanggaran dan perselisihan atau sengketa Pemilu.
Mekanisme ini diperlukan untuk mengoreksi jika terjadi pelanggaran atau
kesalahan dan memberikan sanksi kepada pelaku pelanggaran sehingga proses
Pemilu benar-benar dilaksanakan secara demokratis dan hasilnya mencerminkan kehendak
rakyat. Pelanggaran Pemilu adalah
pelanggaran-pelanggaran terhadap Undang-Undang Pemilu, yang dapat berupa
pelanggaran administrasi dan pelanggaran pidana Pemilu. Sedangkan sengketa
Pemilu adalah sengketa antara dua atau lebih warga negara yang memiliki hak
pilih, peserta Pemilu (partai politik maupun individual), badan pengelolaan
Pemilu, maupun pengamat Pemilu. Sengketa ini terjadi karena perbedaan
penafsiran dan tidak ada kesepakatan.
Dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, ditentukan ada dua jenis pelanggaran Pemilu,
yaitu pelanggaran administrasi dan pelanggaran pidana Pemilu. Pelanggaran
administrasi adalah pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang Pemilu yang
bukan merupakan ketentuan pidana Pemilu dan ketentuan lain yang diatur oleh
KPU. Adapun pelanggaran pidana Pemilu adalah pelanggaran terhadap ketentuan
pidana Pemilu yang diatur dalam Undang-Undang Pemilu. Pada dasarnya, untuk pelanggaran yang menyentuh ranah administrasi adalah
menjadi kewenangan KPU, sedangkan terhadap pelanggaran pidana Pemilu masuk ke
dalam ranah pengadilan umum. Sementara itu, untuk perselisihan hasil pemilihan
umum (PHPU) menjadi domain khusus bagi Mahkamah Konstitusi untuk memutuskannya.
Berdasarkan
uraian di atas, mendorong penulis untuk membuat sebuah makalah dan membahasnya
lebih lanjut. Makalah ini diberi judul : “mekanisme
penyelesaian pelanggaran dan sengketa pemilihan umum anggota dewan perwakilan
rakyat, dewan perwakilan daerah, dan dewan perwakilan rakyat daerah tahun 2009”.
B.
Rumusan Masalah
Permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah
:
1.
Bagaimana mekanisme penyelesaian
pelanggaran Pemilu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.
Bagaimana prosedur teknis
penyelesaian sengketa Pemilu di Mahkamah Konstitusi.
C.
Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1.
Untuk mengetahui mekanisme
penyelesaian pelanggaran Pemilu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
2.
Untuk mengetahui prosedur teknis
penyelesaian sengketa Pemilu di Mahkamah Konstitusi.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
A. Pelanggaran Pemilu
Terjadinya
pelanggaran dalam pelaksanaan Pemilu legislatif tahun 2009 sudah tidak terhindarkan. Pelanggaran dapat
terjadi karena adanya unsur kesengajaan maupun karena kelalaian. Pelanggaran
Pemilu dapat dilakukan oleh banyak pihak bahkan dapat dikatakan semua orang
memiliki potensi untuk menjadi pelaku pelanggaran Pemilu. Sebagai upaya
antisipasi, Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2008 tentang
Pemiliham Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu) mengaturnya pada setiap
tahapan dalam bentuk kewajiban dan larangan dengan tambahan ancaman atau
sanksi.
Potensi
pelaku pelanggaran Pemilu dalam UU Pemilu antara lain :
1. Penyelenggara Pemilu, yang meliputi anggota KPU, KPU Propinsi,
KPU Kabupaten/Kota, anggota Bawaslu, Panwaslu Propinsi, Panwaslu Kabupaten
Kota, Panwas Kecamatan, jajaran sekretariat dan petugas pelaksana lapangan
lainnya;
2. Peserta Pemilu, yaitu pengurus partai politik, calon
anggota DPR, DPD, DPRD, dan
tim kampanye;
3. Pejabat tertentu, seperti PNS, anggota TNI, anggota Polri,
pengurus BUMN/BUMD, Gubernur/pimpinan Bank Indonesia, Perangkat Desa, dan badan
lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara;
4. Profesi media cetak/elektronik,
pelaksana pengadaan barang, distributor;
5. Pemantau dalam negeri
maupun asing;
6. Masyarakat pemilih,
pelaksana survey atau hitungan
cepat, dan umum yang disebut sebagai “setiap orang”.
Meski
banyak sekali bentuk pelanggaran yang dapat terjadi dalam Pemilu, tetapi secara
garis besar UU Pemilu membagi pelanggaran Pemilu berdasarkan kategori/jenis sebagai
berikut
(1) Pelanggaran
Administrasi Pemilu
Pasal 248
UU Pemilu mendefinisikan perbuatan yang termasuk dalam pelanggaran administrasi
adalah pelanggaran terhadap ketentuan UU Pemilu yang tidak termasuk dalam
ketentuan pidana Pemilu dan ketentuan lain yang diatur dalam Peraturan KPU.
Dengan demikian maka semua jenis pelanggaran, kecuali yang telah ditetapkan
sebagai tindak pidana, termasuk dalam kategori pelanggaran administrasi.
Contoh
pelanggaran administrasi tersebut misalnya : tidak memenuhi syarat-syarat untuk
menjadi peserta Pemilu, menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan
tempat pendidikan untuk berkampanye, tidak melaporkan rekening awal dana
kampanye, pemantau Pemilu melanggar kewajiban dan larangan.
(2)
Tindak Pidana Pemilu
Pasal 252 UU Pemilu mengatur tentang tindak pidana Pemilu
sebagai pelanggaran Pemilu yang mengandung unsur pidana. Pelanggaran ini
merupakan tindakan yang dalam UU Pemilu diancam dengan sanksi pidana. Sebagai
contoh tindak pidana Pemilu antara lain sengaja menghilangkan hak pilih orang
lain, menghalangi orang lain memberikan hak suara dan merubah hasil suara.
Seperti tindak pidana pada umumnya, maka proses penyelesaian tindak pidana
pemilu dilakukan oleh lembaga penegak hukum yang ada yaitu kepolisian,
kejaksaan, dan pengadilan.
(3) Perselisihan Hasil
Pemilu
Yang
dimaksud dengan perselisihan hasil Pemilu menurut Pasal 258 UU Pemilu adalah
perselisihan antara Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan peserta Pemilu mengenai
penetapan jumlah perolehan suara hasil pemilu secara nasional. Perselisihan
tentang hasil suara sebagaimana dimaksud hanya terhadap perbedaan penghitungan
perolehan hasil suara yang dapat mempengaruhi perolehan kursi peserta Pemilu. Sesuai
dengan amanat Konstitusi yang dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi, maka perselisihan mengenai hasil perolehan
suara diselesaikan melalui peradilan konstitusi di Mahkamah Konstitusi.
B. Sengketa Pemilu
Salah satu
jenis pelanggaran yang menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum, menjadi salah satu kewenangan Panitia Pengawas
Pemilu (Panwaslu) kabupaten/kota untuk menyelesaikannya adalah pelanggaran Pemilu
yang bersifat sengketa. Sengketa adalah perbenturan antara dua kepentingan, antara
kepentingan dan kewajiban hukum, atau antara kewajiban hukum dengan kewajiban
hukum (konflik), yang dalam konteks Pemilu dapat terjadi antara peserta Pemilu dengan
penyelenggara Pemilu, maupun antara peserta Pemilu dengan peserta Pemilu
lainnya. Pada Pemilu tahun 2004, tata cara penyelesaian terhadap jenis
pelanggaran ini diatur dalam satu pasal tersendiri, yaitu Pasal 129 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2003. Terhadap sengketa Pemilu ini, yaitu perselisihan Pemilu selain
yang menyangkut perolehan hasil suara, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tidak
mengatur mekanisme penyelesaiannya.
Sengketa
juga dapat terjadi antara KPU dengan peserta Pemilu atau pihak lain yang timbul
akibat dikeluarkannya suatu Peraturan dan Keputusan KPU. Kebijakan tersebut,
karena menyangkut banyak pihak, dapat dinilai merugikan kepentingan pihak lain
seperti peserta Pemilu (partai politik dan perorangan), media/pers, lembaga
pemantau, pemilih maupun masyarakat. Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2003 yang menegaskan bahwa Keputusan KPU bersifat final dan mengikat,
dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tidak
ada ketentuan yang menegaskan bahwa Keputusan KPU bersifat final dan mengikat.
Dengan demikian maka Keputusan KPU yang dianggap merugikan terbuka kemungkinan
untuk diubah. Persoalannya, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 (UU Pemilu) juga
tidak memberikan “ruang khusus” untuk menyelesaikan ketidakpuasan tersebut.
Contoh
kasus yang telah nyata ada adalah : (1) sengketa antara calon peserta Pemilu dengan
KPU yang menyangkut Keputusan KPU tentang Penetapan Partai Politik Peserta
Pemilu. Keputusan KPU tersebut dianggap merugikan salah satu atau beberapa calon
peserta Pemilu. (2) sengketa antara partai politik peserta Pemilu dengan
anggota atau orang lain mengenai pendaftaran calon legislatif. Pencalonan oleh
partai politik tertentu dianggap tidak sesuai dengan atau tanpa seijin yang
bersangkutan.
Untuk
sengketa Pemilu yang berkaitan dengan hasil perolehan suara Pemilu, lembaga kehakiman yang berwenang
menyelesaikan adalah Mahkamah Konstitusi. Jika melihat pada sejarah bangsa Indonesia, pemikiran mengenai pembentukan
Mahkamah Konstitusi sudah muncul sebelum Indonesia merdeka. Hal ini dapat
diketahui dari pembahasan Rancangan Undang-Undang Dasar oleh BPUPKI. Anggota
BPUPKI, yaitu Prof. MR. M. Yamin mengusulkan agar selain Mahkamah Agung
seharusnya dibentuk juga Mahkamah Konstitusi yang berfungsi sebagai pembanding
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Namun akhirnya usulan itu gagal.
Usulan atas
pembentukan Mahkamah Konstitusi muncul kembali setelah era reformasi terutama
pada waktu pembahasan rancangan perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Perubahan
yang terjadi pada masa reformasi telah menyebabkan perubahan dari supremasi
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi supremasi konstitusi. Karena
perubahan yang mendasar itu, maka perlu disediakan sebuah mekanisme
institusional dan konstitusional, serta hadirnya lembaga yang mengatasi
sengketa antar lembaga negara yang kini telah menjadi sederajat, saling
mengimbangi, dan saling mengendalikan (checks and balances). Seiring
dengan itu, muncul desakan agar pengujian peraturan perundang-undangan tidak
hanya terbatas pada peraturan di bawah undang-undang melainkan juga atas
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Kewenangan melakukan pengujian
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar itu diberikan kepada sebuah mahkamah
tersendiri di luar Mahkamah Agung (MA). Atas dasar pemikiran itu, adanya
Mahkamah Konstitusi (MK) yang berdiri sendiri di samping MA menjadi sebuah
keniscayaan.
Setelah melalui
proses pembahasan yang mendalam, akhirnya MK menjadi kenyataan dengan
disahkannya Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C Undang-Undang Dasar 1945, yang
menjadi perubahan ketiga dari Undang-Undang Dasar 1945 pada Sidang Tahunan MPR
tanggal 21 November 2001. Dengan disahkannya kedua pasal tersebut, maka
Indonesia menjadi negara ke-78 yang membentuk Mahkamah Konstitusi dan menjadi negara
pertama pada abad ke-21 yang membentuk lembaga kekuasaan kehakiman tersebut. Untuk
menjalankan amanat Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, pemerintah telah
mengeluarkan peraturan khusus, yaitu Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi.
Sesuai dengan
ketentuan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, salah satu wewenang dari
Mahkamah Konstitusi adalah memutus sengketa atau perselisihan atas hasil
pemilihan umum. Tidak semua sengketa yang berkaitan dengan Pemilu berada dalam
kewenangan Mahkamah Konstitusi. Hanya sengketa hasil Pemilu yang diumumkan
secara nasional oleh KPU yang mempengaruhi hal-hal berikut yang dapat dibawa ke
depan Mahkamah Konstitusi :
1. Pemilihan calon anggota
Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
2. Penentuan pasangan calon
yang akan bersaing pada tahap kedua
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
3. Kursi yang dimenangkan
dalam sebuah daerah pemilihan oleh satu partai
politik yang bersaing.
politik yang bersaing.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Mekanisme Penyelesaian Pelanggaran Pemilu
Meski jenis
pelanggaran Pemilu bermacam-macam,
tetapi tata cara penyelesaian yang diatur dalam undang-undang hanya mengenai pelanggaran pidana
Pemilu. Pelanggaran administrasi
diatur lebih lanjut melalui Peraturan KPU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pedoman Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran
Administrasi Pemilu, dan
mengenai perselisihan hasil perolehan suara telah diatur dalam
UU Mahkamah Konstitusi.
a. Mekanisme
Pelaporan
Penyelesaian
pelanggaran Pemilu diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 BAB XX. Secara umum, pelanggaran
diselesaikan melalui Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) sesuai dengan
tingkatannya sebagai lembaga yang memiliki kewenangan melakukan pengawasan terhadap
setiap tahapan pelaksanaan Pemilu. Dalam proses pengawasan tersebut, Bawaslu
dapat menerima laporan, melakukan kajian atas laporan dan temuan adanya dugaan
pelanggaran, dan meneruskan temuan dan laporan dimaksud kepada institusi yang
berwenang.
Selain
berdasarkan temuan Bawaslu, pelanggaran dapat dilaporkan oleh anggota
masyarakat yang mempunyai hak pilih, pemantau pemilu dan peserta pemilu kepada
Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota paling lambat 3 (tiga) hari sejak terjadinya pelanggaran Pemilu. Bawaslu memiliki waktu selama 3
(tiga) hari untuk melakukan kajian
atas laporan atau temuan terjadinya pelanggaran. Apabila Bawaslu menganggap
laporan belum cukup lengkap dan memerlukan informasi tambahan, maka Bawaslu
dapat meminta keterangan kepada pelapor dengan perpanjangan waktu selama 5 (lima)
hari.
Berdasarkan
kajian tersebut, Bawaslu dapat mengambil kesimpulan apakah temuan dan laporan
merupakan tindak pelanggaran Pemilu atau bukan. Dalam hal laporan atau temuan
tersebut dianggap sebagai pelanggaran, maka Bawaslu membedakannya menjadi
:
1)
pelanggaran pemilu yang bersifat administratif, dan
2)
pelanggaran yang mengandung unsur pidana.
Bawaslu meneruskan hasil
kajian tersebut kepada instansi yang berwenang untuk diselesaikan. Aturan mengenai tata
cara pelaporan pelanggaran Pemilu diatur dalam ketentuan Pasal 247 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 yang diperkuat dalam Peraturan Bawaslu Nomor 05 Tahun 2008.
b. Mekanisme
Penyelesaian Pelanggaran Administrasi
Pelanggaran
Pemilu yang bersifat administrasi menjadi kewenangan KPU untuk
menyelesaikannya. UU membatasi waktu bagi KPU untuk menyelesaikan pelanggaran
administrasi tersebut dalam waktu 7 (tujuh) hari sejak diterimanya dugaan laporan pelanggaran
dari Bawaslu. Sesuai dengan sifatnya, maka sanksi terhadap pelanggaran
administrasi hendaknya berupa sanksi administrasi. Sanksi tersebut dapat
berbentuk teguran, pembatalan kegiatan, penonaktifan dan pemberhentian bagi
pelaksana Pemilu. Aturan lebih lanjut tentang tata cara penyelesaian
pelanggaran administrasi dibuat dalam peraturan KPU. Peraturan KPU mengenai hal
ini adalah Peraturan KPU Nomor
44 Tahun 2008 tentang Pedoman Tata
Cara Penyelesaian Pelanggaran Administrasi Pemilu.
Meski
kewenangan menyelesaikan pelanggaran administrasi menjadi domain KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota sebagaimana
diatur dalam ketentuan UU Pemilu Pasal 248 sampai Pasal 251, tetapi UU Pemilu juga memberikan tugas dan
wewenang kepada Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu provinsi dan Bawaslu untuk menyelesaikan temuan dan
laporan pelanggaran terhadap ketentuan kampanye yang tidak mengandung unsur
pidana (Pasal 113 ayat (2), Pasal 118 ayat (2), dan 123 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008). Terhadap
pelanggaran yang menyangkut masalah perilaku yang dilakukan oleh penyelenggara
Pemilu seperti anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota dan jajaran sekretariatnya, maka
Peraturan KPU tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu dapat diberlakukan. Hal
yang sama juga berlaku bagi anggota Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota dan jajaran
sekretariatnya, yang terikat dengan Kode Etik Pengawas Pemilu.
c. Mekanisme
Penyelesaian Pelanggaran Pidana Pemilu
1) Proses Penyidikan
Sebenarnya
penanganan tindak pidana Pemilu tidak berbeda dengan penanganan tindak pidana
pada umumnya, yaitu melalui
kepolisian kepada kejaksaan dan bermuara di pengadilan. Secara umum perbuatan
tindak pidana yang diatur dalam UU Pemilu juga terdapat dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Tata cara penyelesaian juga mengacu
kepada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dengan asas lex specialist derogat
lex generali maka aturan dalam UU Pemilu lebih utama. Apabila terdapat
aturan yang sama maka ketentuan yang diatur KUHP dan KUHAP menjadi tidak
berlaku.
Mengacu
kepada Pasal 247 angka (9) UU Pemilu, temuan dan laporan tentang dugaan
pelanggaran Pemilu yang mengandung unsur pidana, setelah dilakukan kajian dan
didukung dengan data permulaan yang cukup, diteruskan oleh Bawaslu kepada
penyidik kepolisian. Proses
penyidikan dilakukan oleh penyidik Polri dalam jangka waktu selama-lamanya 14
(empatbelas) hari terhitung sejak
diterimanya laporan dari Bawaslu. Kepolisian mengartikan 14 (empatbelas) hari tersebut termasuk hari libur. Hal
ini mengacu kepada KUHAP yang mengartikan hari adalah 1 x 24 jam dan 1 bulan
adalah 30 hari. Guna mengatasi kendala waktu dan kesulitan penanganan pada hari
libur, pihak kepolisian telah membentuk tim kerja yang akan menangani tindak
pidana Pemilu. Setiap tim beranggotakan antara 4 sampai 5 orang.
Dengan
adanya tim kerja tersebut maka penyidikan akan dilakukan bersama-sama. Setelah
menerima laporan pelanggaran dari Bawaslu, penyidik segera melakukan penelitian
terhadap : (1) kelengkapan administrasi laporan yang meliputi
keabsahan laporan (format, stempel, tanggal, penomoran, penanda tangan,
cap/stempel), kompetensi Bawaslu terhadap jenis pelanggaran, dan kejelasan
penulisan; dan (2) materi laporan yang antara lain : kejelasan indentitas (nama dan
alamat) pelapor, saksi dan tersangka, tempat kejadian perkara, uraian kejadian/ pelanggaran, waktu
laporan. Berdasarkan identitas tersebut, penyidik melakukan pemanggilan terhadap
saksi dalam waktu 3 (tiga)
hari dengan kemungkinan untuk memeriksa saksi sebelum 3 (tiga) hari tersebut yang dapat dilakukan di
tempat tinggal saksi. 14 (empatbelas) hari sejak diterimanya laporan dari Bawaslu, pihak penyidik harus
menyampaikan hasil penyidikan beserta berkas perkara kepada penuntut umum (PU).
Maksimal 5 (lima)
hari sejak berkas diterima, penuntut
umum melimpahkan berkas perkara kepada pengadilan. Karena sejak awal penanganan
kasus di kepolisian pihak kejaksaan sudah dilibatkan untuk mengawal proses
penyidikan maka duduk perkara sudah dapat diketahui sejak Bawaslu melimpahkan
perkara ke penyidik. Dengan demikian maka penuntut umum dapat mempersiapkan
rencana awal penuntutan yang memuat unsur-unsur tindak pidana dan fakta-fakta
perbuatan. Pada saat tersangka dan barang bukti dikirim/diterima dari
kepolisian maka surat dakwaan sudah dapat disusun pada hari itu juga. Karena
itu masalah limitasi waktu tidak menjadi kendala.
Untuk
memudahkan proses pemeriksaan terhadap adanya dugaan pelanggaran pidana Pemilu,
Bawaslu, kepolisian dan kejaksaan telah membuat kesepahaman bersama dan telah
membentuk sentra penegakan hukum terpadu (Gakumdu). Adanya Gakumdu memungkinkan
pemeriksaan perkara pendahuluan melalui gelar perkara.
2) Proses Persidangan
Tindak
lanjut dari penanganan dugaan pelanggaran pidana Pemilu oleh kejaksaan adalah
pengadilan dalam yuridiksi peradilan umum. Mengingat bahwa Pemilu berjalan
cepat, maka proses penanganan pelanggaran menggunakan proses perkara yang cepat
(speed tryal). Hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara
pidana Pemilu menggunakan KUHAP sebagai pedoman beracara, kecuali yang diatur secara berbeda dalam UU
Pemilu. Perbedaan tersebut terutama menyangkut masalah waktu yang lebih singkat
dan upaya hukum yang hanya sampai banding di Pengadilan Tinggi.
7
(tujuh) hari sejak berkas perkara
diterima, Pengadilan Negeri
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana Pemilu. Batasan waktu ini akan
berimbas kepada beberapa prosedur yang harus dilalui seperti pemanggilan saksi
dan pemeriksaan khususnya di daerah yang secara geografis banyak kendala. Untuk
itu maka UU memerintahkan agar penanganan pidana Pemilu di pengadilan ditangani
oleh hakim khusus yang diatur lebih lanjut melalui Peraturan Mahkamah Agung Nomor 03/2008. MA juga telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 07/A/2008 yang memerintahkan kepada
Pengadilan Tinggi untuk segera mempersiapkan/ menunjuk hakim khusus yang menangani
tindak pidana Pemilu.
Dalam hal
terjadi penolakan terhadap putusan Pengadilan Negeri, para pihak memiliki
kesempatan untuk melakukan banding ke Pengadilan Tinggi. Permohonan banding
terhadap putusan tersebut diajukan paling lama 3 (tiga) hari setelah putusan dibacakan. Pengadilan Negeri
melimpahkan berkas perkara permohonan banding kepada Pengadilan Tinggi paling lama 3 (tiga) hari sejak permohonan banding diterima. Pengadilan
Tinggi memiliki kesempatan
untuk memeriksa dan memutus permohonan banding paling lama 7 (tujuh) hari setelah permohonan banding diterima.
Putusan banding tersebut merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat
sehingga tidak dapat diajukan upaya hukum.
3) Proses Pelaksanaan
Putusan
Tiga hari
setelah putusan pengadilan dibacakan, Pengadilan Negeri/
Pengadilan Tinggi harus
telah menyampaikan putusan tersebut kepada penuntut umum. Putusan harus dilaksanakan paling lambat
3 (tiga) hari setelah putusan
diterima jaksa. Jika perkara pelanggaran pidana Pemilu menurut UU Pemilu dipandang dapat
mempengaruhi perolehan suara peserta Pemilu maka putusan pengadilan atas
perkara tersebut harus sudah selesai paling lama 5 (lima) hari sebelum KPU menetapkan hasil Pemilu secara
nasional. Khusus terhadap putusan yang berpengaruh terhadap perolehan suara
ini, KPU, KPU provinsi dan
KPU kabupaten/kota, dan
peserta Pemilu harus
sudah menerima salinan putusan pengadilan pada hari putusan dibacakan. KPU
berkewajiban untuk menindaklanjuti putusan sebagaimana dimaksud.
B. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pemilu di
Mahkamah Konstitusi
Sesuai
dengan Konstitusi yang dijabarkan dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, perselisihan tentang hasil perolehan suara Pemilu diselesaikan melalui Mahkamah
Konstitusi. Tata cara penyelesaian perselisihan perolehan
hasil suara Pemilu 2009 telah diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 14 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan
Hasil Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Pada sengketa
hasil Pemilu tahun 2004, Mahkamah Konstitusi telah memutus 252 perkara yang
diajukan oleh partai politik, 23 perkara yang diajukan oleh calon anggota DPD,
dan 1 perkara yang diajukan oleh pasangan calon presiden/calon wakil presiden.
Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap 252 perkara yang diajukan partai-partai
politik itu terbagi kepada empat jenis, yaitu permohonan dikabulkan sebanyak 41
perkara (14,96%), permohonan ditolak sebanyak 135 perkara (49,27%), permohonan
tidak dapat diterima sebanyak 89 perkara (32,48%) dan 9 perkara (3,28%) ditarik
kembali oleh pemohon. Sedangkan pada Pemilu legislatif 2009, Mahkamah
Konstitusi telah menerima 71 permohonan yang meliputi 42 permohonan untuk
partai politik dan 29 permohonan dari calon anggota DPD. Permohonan yang
diajukan oleh partai politik meliputi seluruh partai politik peserta Pemilu
2009, baik nasional maupun partai lokal di Aceh, kecuali Partai Rakyat
Aceh dan Partai Aceh Aman Sejahtera. Sementara itu perkara yang diajukan calon
anggota DPD berasal dari daerah pemilihan Sulawesi Tenggara, Papua Barat,
Papua, Maluku, Sumatera Utara, Jawa Tengah, Gorontalo, Kepulauan Riau, Lampung,
Nanggroe Aceh Darussalam, lampung, Jambi, Banten, Sulawesi Barat, Sulawesi
Tengah dan Maluku Utara.
Permohonan sengketa Pemilu diajukan oleh peserta Pemilu paling lambat 3 x 24 jam sejak KPU mengumumkan
penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional. Pengajuan permohonan
disertai dengan alat bukti pendukung seperti sertifikat hasil penghitungan
suara, sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan setiap jenjang, berita acara
penghitungan beserta berkas pernyataan keberatan peserta, serta dokumen
tertulis lainnya. Apabila kelengkapan dan syarat permohonan dianggap tidak cukup, panitera Mahkamah
Konstitusi memberitahukan kepada pemohon untuk diperbaiki
dalam tenggat waktu 1 x 24
jam. Apabila dalam waktu tersebut perbaikan kelengkapan dan syarat tidak
dilakukan, maka permohonan tidak dapat diregistrasi.
Tiga hari kerja sejak permohonan tercatat dalam Buku Registrasi Perkara
Konstitusi, panitera
mengirimkan permohonan kepada KPU. Dalam permohonan tersebut disertakan juga permintaan
keterangan tertulis dari KPU
yang dilengkapi dengan bukti-bukti hasil penghitungan suara yang
diperselisihkan. Keterangan tertulis tersebut harus sudah diterima Mahkamah
Konstitusi paling lambat satu hari sebelum hari persidangan. Mahkamah menetapkan
hari sidang pertama dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan diregistrasi.
Penetapan hari sidang pertama diberitahukan kepada pemohon dan KPU paling
lambat 3 (tiga) hari sebelum
hari persidangan.
Pemeriksaan permohonan dibagi menjadi :
1)
pemeriksaan pendahuluan,
untuk memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan. Panel Hakim yang
terdiri atas 3 orang hakim konstitusi wajib memberi nasihat kepada pemohon
untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan apabila terdapat kekurangan
paling lambat 1 x 24 jam.
2)
pemeriksaan persidangan, yang dilakukan untuk memeriksa kewenangan Mahkamah
Konstitusi, kedudukan pemohon, pokok permohonan, keterangan
KPU dan alat bukti oleh Panel Hakim dan/atau Pleno Hakim dalam sidang yang
terbuka untuk umum.
Putusan Mahkamah
Konstitusi dijatuhkan paling lambat 30 hari kerja sejak
permohonan dicatat dalam buku registrasi perkara konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final
dan selanjutnya disampaikan
kepada pemohon, KPU dan Presiden serta dapat disampaikan kepada pihak terkait.
KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota
wajib menindaklanjuti Putusan tersebut.
Sebagai salah satu tahapan dalam
penyelenggaraan Pemilu, penyelenggaraan peradilan sengketa hasil Pemilu yang
menjadi wewenang MK sangat dipengaruhi oleh pelaksanaan tahapan-tahapan
sebelumnya. Adanya perselisihan hasil penghitungan suara antara penyelenggara
dengan peserta Pemilu pada kenyataannya tidak hanya terjadi karena kekeliruan
dalam proses penghitungan suara atau rekapitulasi suara disetiap tingkatan,
tetapi juga dapat terjadi karena adanya pelanggaran Pemilu yang mempengaruhi
hasil penghitungan suara. Karena itu peran lembaga-lembaga lain dalam
penyelesaian pelanggaran Pemilu disetiap tahapan sangat penting artinya bagi
kelancaran peradilan perselisihan hasil Pemilu.
Pada saat pelaksanaan wewenang
memutus sengketa hasil pemilu, kesiapan pemohon dan termohon sangat menentukan
kelancaran persidangan. Pemohon yang dalam hal ini adalah peserta Pemilu dibatasi
waktunya mengajukan permohonan selambat-lambatnya 3x24 jam setelah pengumuman
hasil secara nasional oleh KPU. Karena itu untuk dapat membuat dan mengajukan
permohonan yang didukung alat bukti kuat, pemohon harus memiliki data dan saksi
yang lengkap. Hal itu membutuhkasn kesiapan baik dari sisi mekanisme internal
maupun sumber daya manusia peserta Pemilu. Kesiapan juga diperlukan oleh KPU
sebagai termohon serta pihak terkait lainnya.
Untuk melaksanakan wewenang konstitusional memutus
hasil Pemilu 2009, Mahkamah Konstitusi telah melakukan berbagai persiapan,
antara lain dari sisi hukum acara, koordinasi dan hubungan antar lembaga, serta
sarana dan prasarana. Dari sisi hukum acara, yaitu dikeluarkannya peraturan tentang
Pedoman Beracara Perselisihan Hasil Pemilu. Mengingat pelaksanaan wewenang memutus
sengketa hasil Pemilu terkait dengan tahapan pelaksanaan Pemilu sebelumnya
serta terkait pula dengan kesiapan pihak-pihak yang akan bersengketa, Mahkamah Konstitusi
telah berkoordinasi dengan berbagai lembaga, antara lain dengan KPU, Bawaslu,
partai politik dan Mahkamah Agung. Koordinasi tersebut akan dilanjutkan secara
intensif selama pelaksanaan Pemilu serta diperluas dengan lembaga-lembaga lain
yang terlibat dan memiliki peran dalam penyelenggaraan Pemilu.
Untuk memberikan pelayanan terbaik kepada semua pihak
dalam perkara perselisihan hasil Pemilu, sekaligus untuk memberikan akses yang
mudah dan cepat kepada keadilan dan pengadilan, telah dioperasikan pula sarana
video conference. Malalui sarana tersebut dapat dilakukan konsultasi perkara
secara online, penyampaian dokumen online, persidangan jarak jauh serta akses
risalah dan putusan secara online. Fasilitas video conference tersebut
ditempatkan di 34 perguruan tinggi yang tersebar diseluruh Indonesia sehingga
masyarakat diseluruh pelosok Indonesia memiliki akses yang sama terhadap MK dan
jarak tidak lagi menjadi penghambat terciptanya persamaan di hadapan hukum
(equality before the law).
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
a.
Penyelesaian pelanggaran Pemilu
adalah melalui Badan Pengawas
Pemilu (Bawaslu) dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) sesuai dengan tingkatannya sebagai lembaga yang
memiliki kewenangan melakukan pengawasan terhadap setiap tahapan pelaksanaan
Pemilu. Mekanisme penyelesaian diawali dengan adanya laporan pelanggaran
dari masyarakat maupun berdasarkan temuan Bawaslu/Panwaslu di lapangan. Berdasarkan kajian tersebut, Bawaslu dapat
mengambil kesimpulan apakah temuan dan laporan merupakan tindak pelanggaran
Pemilu atau bukan. Bawaslu meneruskan hasil kajian tersebut kepada instansi yang berwenang
untuk diselesaikan. Untuk pelanggaran administrasi adalah menjadi kewenangan KPU untuk menyelesaikannya. sanksi terhadap
pelanggaran administrasi hendaknya berupa sanksi administrasi. Sanksi yang
diberikan berbentuk teguran,
pembatalan kegiatan, penonaktifan dan pemberhentian bagi pelaksana Pemilu.
Sedangkan penyelesaian pelanggaran pidana Pemilu dilakukan melalui proses
penyidikan oleh penyidik kepolisian, proses penuntutan oleh
kejaksaan, persidangan di pengadilan negeri/pengadilan tinggi dan pelaksanaan
putusan.
b.
Lembaga yang berwenang
menyelesaikan sengketa hasil Pemilu berkaitan dengan perolehan suara adalah
Mahkamah Konstitusi. Tata cara
penyelesaian perselisihan perolehan hasil suara Pemilu 2009 telah diatur dalam
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 14 Tahun 2008 tentang
Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Permohonan sengketa
Pemilu diajukan oleh peserta Pemilu
paling lambat 3 x 24 jam sejak KPU mengumumkan penetapan perolehan suara hasil
Pemilu secara nasional. Pemeriksaan permohonan dibagi menjadi pemeriksaan
pendahuluan, yaitu untuk memeriksa kelengkapan dan kejelasan
materi permohonan, serta pemeriksaan
persidangan yang dilakukan untuk memeriksa kewenangan Mahkamah Konstitusi, kedudukan pemohon, pokok permohonan, keterangan
KPU dan alat bukti. Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan selanjutnya disampaikan kepada pemohon, KPU dan Presiden serta dapat disampaikan
kepada pihak terkait. KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti
Putusan tersebut.
B. Saran
Secara umum
UU Pemilu telah memberikan pedoman untuk menyelesaikan pelanggaran yang
terjadi. Pengaturan penyelesaian pelanggaran Pemilu dengan batasan waktu yang
singkat bertujuan untuk mendorong penyelesaian kasus yang disesuaikan dengan
tahapan pelaksanaan Pemilu sehingga ada jaminan bahwa Pemilu diselenggarakan
secara bersih. Penanganan pelanggaran secara jujur dan adil merupakan bukti adanya
perlindungan kedaulatan rakyat dari tindakan-tindakan yang dapat mencederai
proses dan hasil Pemilu. Adalah kewajiban bagi pengawas, penyelenggara dan
aparat penegak hukum untuk memastikan bahwa semua pelanggaran Pemilu yang
terjadi dapat diselesaikan secara adil dan konsisten.
DAFTAR PUSTAKA
Januari Sihotang, Mahkamah
Konstitusi dan Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilu, Artikel, Harian Analisa, Jakarta, 2008.
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, Pelanggaran Pemilu 2009 dan Mekanisme
Penyelesaiannya, Position Paper, Jakarta, Desember 2008.
Pan Mohamad Faiz, Sengketa Pemilu dan Masa Depan Demokrasi,
Artikel Jurnal Hukum, 2009.
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 44 Tahun 2008
tentang Pedoman Tata Cara
Penyelesaian Pelanggaran Administrasi Pemilu.
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 14 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilu Anggota DPR,
DPD, dan DPRD.
Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar