PRINSIP-PRINSIP POKOK HUKUM
INTERNASIONAL
Untuk memahami atau mengerti dengan
sebaik-baiknya prinsip-prinsip pokok Hukum Internasional, maka pertama-tama
harus diketahui apa yang menjadi definisi atau batasan dari Hukum Internasional
itu sendiri. Definisi atau batasannya bukan sesuatu yang bersifat statis,
melainkan bersifat dinamis sebab batasan atau pengertiannya senantiasa harus
disesuaikan dengan dinamika dan kebutuhan masyarakat internasional tempat di
mana hukum internasional itu tumbuh, berkembang dan berlaku. J.G. Starke dalam
bukunya Stark”s International Law mengemukakan definisi Hukum Internasional (International
Law) sebagai berikut :
“Hukum Internasional adalah sekumpulan hukum yang
untuk sebagian besar terdiri dari azas-azas dan peraturan-peraturan tingkah
laku di mana negara-negara itu sendiri merasa terikat dan menghormatinya, dan
dengan demikian mereka (negara-negara) itu juga harus menghormati atau
mematuhinya dalam hubungannya satu sama lain, dan yang juga mencakup : a)
peraturan-peraturan hukum yang berkenaan dengan berfungsinya lembaga-lembaga
atau organisasi-organisasi internasional, hubungan antara organisasi
internasional dengan organisasi internasional lainnya, hubungan antara
organisasi internasional dengan negara serta hubungan antara organisasi
internasional dengan individu ; b) peraturan-peraturan hukum tertentu yang
berkenaan dengan individu-individu dan subyek-subyek hukum bukan negara (non
state entities) sejauh hak-hak dan kewajiban individu dan subyek hukum bukan
negara itu bersangkut paut dengan persoalam masyarakat internasional.”
Definisi ini melampaui definisi
tradisional tentang hukum internasional sebagai sebuah system yang semata-mata
terdiri dari aturan-aturan yang mengatur hubungan antar negara semata-mata.
Batasan yang bersifat tradisional seperti itu yang hanya dibatasi pada tingkah
laku negara-negara dalam hubungannya satu sama lain dapat ditemukan dalam
kebanyakan karya tulisan hukum internasional lama yang digunakan sebagai
standar, tetapi dilihat dari segi perkembangan hukum internasional selama lima
puluh tahun terakhir, definisi tradisional tersebut tidak memberikan gambaran
komprehensif mengenai semua aturan yang kini diakui menjadi bagian dari hukum
internasional itu sendiri.
Perkembangan Hukum Internasional yang
terjadi selama beberapa dasawarsa terutama menyangkut : a) pembentukan sejumlah
besar lembaga-lembaga atau organisasi internasional yang bersifat permanent
seperti misalnya Perserikatan Bangsa-Bangsa serta Badan-Badan Khusus PBB (Specialized
Agencies) yang dianggap memiliki international legal personality dan
dianggap dapat mengadakan hubungan satu sama lain maupun mengadakan hubungan
dengan negara; b) adanya gerakan yang disponsori atau diprakarsai oleh PBB dan
Dewan Eropa (Council of Europe) guna melindungi hak-hak azasi manusia
serta kebebasan fundamental dari individu, terbentuknya aturan-aturan atau
kaidah-kaidah guna menghukum orang-orang yang melakukan kejahatan internasional
seperti genosida (genocide) atau kejahatan pemusnahan ras (lihat
Genocide Convention 1948 yang berlaku pada tahun 1951) serta dibebankannya
kewajiban pada individu berdasarkan keputusan dari Tribunal Militer
Internasional di Nuremberg atau disebut pula Peradilan Nuremberg tahun 1946
yang menetapkan kejahatan terhadap perdamaian dunia (crimes against peace),
kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) serta
konspirasi untuk melakukan kejahatan-kejahatan seperti itu sebagai kejahatan
internasional ; c) Pembentukan Mahkamah Kriminal Internasional (International
Criminal Court atau disingkat ICC) yang bekedudukan di Den Haag berdasarkan
Statuta Roma yang ditandatangani pada tahun 1993 dan kemudian telah berlaku
sejak tahun 2002.
Berdasarkan Statuta Roma, siapapun
yang terlibat dalam kejahatan terhadap perdamaian dunia, kejahatan perang,
kejahatan kemanusiaan, kejahatan genosida ataupun berbagai kejahatan
kemanusiaan lainnya seperti kejahatan terorisme dapat diajukan ke depan ICC
tanpa melihat apakan mereka adalah Kepala Negara, Kepala Pemerintahan, pejabat
tinggi negara ataupun pejabat militer, tetapi harus diingat bahwa yurisdiksi
ICC ini baru bisa diakses setelah semua upaya hukum setempat tidak berhasil
dalam mewujudkan keadilan terhadap keluarga korban. d) Terbentuknya mahkamah
kriminal internasional yang bersifat adhoc, seperti misalnya apa yang dinamakan
The International Criminal Tribunal for the Former Yugoslav (ICTY) dan The
International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) yang bertujuan untuk
mengadili individu-individu yang terlibat dalam berbagai kejahatan kemanusiaan
tanpa menghiraukan apakah mereka kepala negara, kepala pemerintahan, pejabat
tinggi negara atau pemerintahan baik dari kalangan sipil maupun militer. Namun
pembentukannya tidak didasarkan pada Statuta Roma. Melainkan pada Resolusi
Dewan Keamanan PBB pada tahun 1993 dan 1994. e) Pembentukan Uni Eropa (European
Union) berdasarkan perjanjian internasional yang disebut Perjanjian
Mastricht pada tahun 1990 an yang merupakan kesepakatan dari sebagian besar
dari negara-negara di Benua Eropa untuk membentuk dan menerapkan Sistem Pasar
Tunggal dan menggunakan Mata Uang Euro sebagai Mata Uang Tunggal; e)
Perhimpunan Negara-Negara Asia Tenggara yang terbentuk melalui Deklarasi ASEAN
tahun 1967 dengan tujuan untuk meningkatkan kerjasama dalam bidang ekonomi,
sosial dan budaya dan bukan dalam bidang politik dan militer, yang dewasa ini
telah berkembang sedemikian rupa sehingga selain jumlah anggotanya telah
bertambah dari 5 menjadi 10, juga negara-negara anggotanya dewasa ini telah
berhasil dalam menyusun dan merumuskan apa yang disebut Piagam ASEAN.
Piagam ini akan terdiri dari Pembukaan
dan 12 pasal. Pasal 1 mengatur tentang Tujuan dan Prinsip-prinsip dari
Organisasi ASEAN. Pasal 2 mengenai Status Hukum (Legal Personality) dari
Organisasi ASEAN. Pasal 3 mengenai Keanggotaan ( Membership). Pasal 4
mengenai Organ-Organ (Organs). Pasal 5 mengenai berbagai kekebalan dan
hak-hak istimewa yang melekat pada Organisasi ASEAN (Immunities and
Privileges). Pasal 6 mengenai Pengambilan Keputusan (Decision Making)
oleh Organisasi ini. Pasal 7 mengenai Penyelesaian Sengketa (Dispute
Settelement). Pasal 8 mengenai Anggaran dan Keuangan (Budget and Finance).
Pasal 9 mengenai Administrasi dan Prosedur (Administration and Procedure).
Pasal 10 mengenai Identitas dan Simbol (Identity and Symbol). Pasal 11
mengenai Hubungan Eksternal (External Relations). Pasal 12 mengenai
Ketentuan Umum dan Ketentuan Penutup (General and Final Provisions).
ASEAN mempunyai tekad kuat untuk
memiliki sebuah landasan hukum yang kuat bagi organisasi 10 negara di wilayah
Asia Tenggara. Betapapun alotnya pembahasan piagam tersebut, para Kepala Negara
dan Kepala Pemerintahan sudah menetapkan Piagam ASEAN itu sudah harus
ditandatangani pada KTT ASEAN tahun 2007 di Singapura atau pada akhir tahun
2007 ini. Piagam ASEAN ini akan memberikan status hukum yang jelas bagi ASEAN
sehingga dapat mentransformasikan ASEAN menjadi sebuah organisasi yang
berlandaskan aturan. Piagam ASEAN juga akan memberikan kerangka hukum untuk
mencapai atau mewujudkan Komunitas ASEAN, sekaligus menegaskan tujuan-tujuan
dan prinsip-prinsip ASEAN. Piagam ASEAN ini diharapkan pula dapat menjadi
pedoman dalam menyelesaikan pesengketaan yang mungkin terjadi di antara para
anggotanya di kemudian hari. Di samping itu yang terpenting adalah membuat
Organisasi ASEAN memiliki kemampuan yang lebih besar untuk menghadapi
tantangan-tantangan tradisional maupun nontradisional. Demikian antara lain
lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi internasional yang terbentuk
memberikan kontribusi yang sangat besar dalam proses pembentukan dan
pengembangan hukum internasional masa kini sebab semuanya ini memiliki
kapasitas atau kemampuan untuk berinteraksi dan mengadakan hubungan baik dengan
sesama organisasi atau lembaga internasional maupun dengan negara serta
individu.
Selanjutnya Mochtar Kusumaatmadja
dalam bukunya Pengantar Hukum Internasional menyatakan Hukum Internasional
adalah:
“keseluruhan kaidah-kaidah dan
azas-azas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi
batas-batas negara-negara (hubungan internasional) antara negara dengan negara,
antara negara dengan subyek hukum lain yang bukan negara, ataupun antara subyek
hukum lain bukan negara satu sama lainnya.”
Definisi Hukum Internasional
sebagaimana dipaparkan di atas pada hakekatnya menunjukkan pengertian yang sama
(walaupun dengan rumusan yang berbeda) karena definisi tersebut secara jelas
memberikan gambaran mengenai subyek-subyek hukum internasional atau
pelaku-pelaku atau aktor-aktor dalam masyarakat internasional. Subyek-subyek
hukum ini tidak hanya terbatas pada negara saja kendatipun negara adalah
merupakan subyek utama dalam hukum internasional, namun negara bukan
satu-satunya sebagai subyek hukum internasional karena di samping negara, juga
ternyata ada subyek-subyek hukum internasional lain seperti lembaga-lembaga
atau organisasi-organisasi internasional, subyek-subyek hukum yang bukan negara
yang sangat bevariasi dan beranekaragam dan juga individu yang juga memiliki
hak-hak serta kewajiban internasional yang didasarkan atas hukum internasional.
Selain memberikan deskripsi mengenai subyek-subyek hukum internasional, juga
definisi tersebut di atas mendeskripsikan bahwa subyek-subyek hukum itu dapat
melakukan interaksi atau hubungan satu sama lain, baik hubungan antara negara
dengan negara, negara dengan organisasi internasional, organisasi internasional
yang satu dengan organisasi internasional lainnya, negara ataupun organisasi
internasional dengan subyek hukum lain seperti pihak belligerensi, korporasi
(nasional dan multinasional) maupun individu, semuanya ini dapat menjadi
aktor-aktor penting dalam masyarakat dunia yang dapat memberikan kontribusi
dalam pembentukan kaidah-kaidah hukum internasional.
Melalui hubungan yang dilakukan oleh
subyek-subyek hukum internasional baik hubungan antarsesama subyek hukum
internasional maupun hubungan dengan yang bukan sesamanya, pada akhirnya akan
melahirkan azas-azas serta kaidah-kaidah hukum interna sional. Segala hal yang
telah diuraikan di atas terkait dengan batasan hukum internasional khususnya
batasan hukum internasional yang dikemukakan oleh J.G. Starke adalah sejalan
dengan apa yang pernah dikemukakan oleh Komar Kantaatmaja bahwa pendekatan
hukum internasional modern melihat permasalahannya dari dua macam pendekatan,
yakni dari pendekatan statik serta pendekatan dinamik. Pendekatan statik dalam
hukum internasional melihat dari segi teoretik doktriner dan interpretasi yang
diciptakan dari sejarah pembentukannya dan segala perangkat yang berkaitan
dengan permasalahan tersebut. Pendekatan dinamik melihat dari bagaimana sebuah
konsep berkembang dari bentuk asalnya menjadi bentuk masa kini yang sesuai
dengan dinamika perkembangan dan kebutuhan masyarakat internasional masa kini.
Oleh karena itu perkembangan dinamik
ini memberi ciri dan bentuk baru terhadap berbagai aspek kehidupan dari
masyarakat internasional sekarang dalam perkembangannya menuju suatu perangkat
kaidah hukum internasional masa mendatang.
Sumber: Komar Kantaatmadja, “Evolusi
Hukum Kebiasaan Internasional”, 1988, Hlm.1.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar