FENOMENA- FENOMENA YANG SERING TERJADI
DALAM PEMILU
Pemilihan umum (pemilu)
di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan,
yaitu DPR, DPRD, dan DPD. Setelah amandemen ke-IV UUD 1945 pada 2002, pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR,
disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga pilpres pun dimasukan
ke dalam rezim pemilihan umum. Pilpres sebagai bagian dari pemilihan umum
diadakan pertama kali pada pemilu 2004. Pada Tahun 2007 berdasarkan UU No. 22
Tahun 2007, pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) juga
dimasukan sebagai bagian dari rezim pemilihan umum.
Ditengah masyarakat,
istilah “pemilu” lebih sering merujuk kepada pemilu legislatif dan pemilu
presiden dan wakil presiden yang diadakan lima tahun sekali. Pemilihan umum
telah dianggap menjadi ukuran demokrasi karena rakyat dapat berpartisipasi
menentukan sikapnya terhadap pemerintahan dan negaranya. Pemilihan umum adalah
suatu hal yang penting dalam kehidupan kenegaraan. Pemilu adalah
pengejewantahan sistem demokrasi, melalui pemilihan umum rakyat memilih
wakilnya untuk duduk dalam parlemen, dan dalam struktur pemerintahan. Ada
negara yang menyelenggarakan pemilihan umum hanya apabila memilih wakil rakyat yang
akan duduk dalam parlemen, adapula negara yang juga menyelenggarakan pemilihan
umum untuk memilih para pejabat tinggi negara saja.
Umumnya yang berperan
dalam pemilu dan menjadi peserta pemilu adalah partai-partai politik. Partai
politik yang menyalurkan aspirasi rakyat dan mengajukan calon-calon untuk
dipilih oleh rakyat melalui pemilihan itu. Dalam ilmu politik dikenal
bermacam-macam sistem pemilihan umum, akan tetapi umumnya berkisar pada dua
prinsip pokok, yaitu singel member constituency (satu daerah pemilihan
memilih satu wakil, biasanya disebut sistem distrik). Multy member
constituenty (satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil; biasanya
dinamakan proporsional representation atau sistem perwakilan berimbang).
Fenomena yang menarik dan perlu
dicermati dari pemilu 2009 adalah praktek kampanye politik. Dalam cermatan
penulis, kampanye terbuka tahun 2009 tidak sesemarak pemilu tahun 1999 atau 2004. Ada
beberapa aspek penting yang perlu dicermati dalam kaitannya dengan kampanye
politik pemilu 2009. Pertama, dilihat
dari partisipasi politik. Masyarakat Indonesia pada umumnya, khususnya di kota
sudah berada pada titik jenuh berpolitik. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari
minimnya masyarakat yang turut
berpartisipasi dalam proses kampanye terbuka. Hanya partai-partai
bermodallah yang mampu mengumpulkan massa ratusan atau ribuan orang. Besarnya massa
kampanye inipun masih ada catatan karena sesungguhnya mereka hadir di lapangan
tersebut bukan sebagai bagian dari usaha pendukungan terhadap partai politik,
namun lebih disebabkan karena adanya imbalan ekonomi terhadap dirinya. Isu
money politik atau
politik uang dalam penggalangan massa kampanye menjadi isu lapangan
yang mudah dibuktikan. Oleh karena itu, hanya partai-partai besar yang
bermodallah yang mampu melakukan kampanye terbuka secara massal. Sedangkan
mereka yang memiliki kesulitan dalam dana politik, tidak mampu menggelar
selebrasi demokrasi macam
ini.
Fenomena ini sesungguhnya tidak relevan
untuk dikaitkan dengan proses peningkatan partisipasi politik atau penguatan
demokrasi politik di Indonesia. Namun hal yang nyata dan pasti bahwa proses politik
yang berkembang saat ini adalah seperti itu, dan telah menjadi bagian dari
fakta politik di Indonesia, dengan kata
lain itulah realitas politik yang
terjadi ditengah
masyarakat dan itulah realitas partisipasi politik di Indonesia.
Kedua, isu kampanye. Dari sudut
pandang antropologi, nilai suatu tindakan
dapat dilihat dari dua sudut yaitu sebagai instrument dan sebagai terminal. Isu
kampanye dapat dikatakan sebagai isu yang mengandung nilai terminal, bila para
kandidat mengusung mengenai pentingnya peningkatan pendidikan yang murah,
layanan kesehatan yang merata dan murah, harga BBM murah, serta kesejahteraan
yang meningkat. Isu-isu tersebut
merupakan jenis
dari isu-isu kampanye yang dapat dikategorikan sebagai isu terminal. Isu-isu
kampanye yang bersifat teminalis sudah tentu merupakan sesuatu yang sangat
menggairahkan, terlebih dari ketika kondisi masyarakat kita saat ini sedang
mengalami keterpurukan yang panjang. Krisis ekonomi yang bermula dari krisis
moneter tahun 1997 masih sangat terasa dan terus berimbas terhadap berbagai
lini kehidupan masyarakat. Sayangnya, dalam beberapa perhelatan politik di
tanah air, caleg, atau elit politik seringkali hanya mengumbar isu-isu
terminal. Calon Presiden, gubernur dan calon kepala di daerah pelosok pun lebih
gemar menawarkan isu-isu terminalis dibandingkan isu-isu instrumentalis. Padahal, kita
sering menemukan para pemimpin kita yang hanya mampu merumuskan visi dan misi.
Artinya, kadang visi politiknya bagus (terminal), namun tidak memiliki cara
ampuh dalam mewujudkannya (instrumennya lemah). Contoh klasik di Indonesia,
yaitu isu penghapusan KKN. Isu ini terminalis, dan menarik perhatian banyak
kalangan, khususnya rakyat Indonesia, namun isu ini pun menjadi bahan cemoohan karena ternyata
elit politik itu sendiri tidak memiliki strategi atau tindakan yang nyata
untuk menghapuskannya. Malah yang terjadi adalah elit politiknya sendiri
terlibat dalam praktek KKN. Ini adalah bukti nyata bahwa isu kampanye,
baru sekedar terminalis, dan belum dimiliknya instrumen atau cara ampuh untuk
mewujudkannya.
Ketiga, para calon wakil rakyat
mendadak menjadi dermawan, mereka berlomba-lomba turun secara langsung ke
pasar-pasar tradisional, panti asuhan, panti jompo, mesjid untuk medapat
sempatik pemuka agama serta memberi jaminan pengobatan gratis bagi masyarakat
yang kurang mampuh demi manarik simpatik rakyat. Setelah mereka terpilih mereka
mengabaikan aspirasi masyarakat yang merupakan tujuan utama mengapa mereka dipilih.
Agar pemilu dapat
menjadi agenda
pelembagaan proses politik yang demokratis, diperlukan kesungguhan, terutama
dari anggota parlemen, untuk tidak terjebak dalam permainan politik yang
oportunistik, khususnya dalam memperjuangkan agenda subjektif masing-masing.
Orientasi sempit dan egoisme politik harus dibuang jauh-jauh. Kerangka hukum
perlu didukung niat politik yang sehat sehingga regulasi bukan sekedar hasil
kompromi politik oportunistik dari partai-partai besar untuk menjaga
kepentingannya. Bila hal itu yang terjadi, dikhwatirkan hasil pemilu akan
memperkuat oligarki politik. Karena itu, partisipasi masyarakat amat
diperlukan. Bahkan, tekanan publik perlu dilakukan agar kerangka hukum yang
merupakan aturan permainan benar-benar menjadi sarana menghasilkan pemilu yang
demokratis. Untuk itu, perlu diberikan beberapa catatan mengenai perkembangan
konsensus politik dari peraturan kepentingan di parlemen serta saran mengenai
regulasi penyelenggaraan pemilu yang akan datang.
Pertama, diperlukan
penyelenggaraan pemilu yang benar-benar independen. Parsyaratan ini amat
penting bagi terselenggaranya pemilu yang adil dan jujur. Harapan itu tampaknya
memperlihatkan tanda-tanda akan menjadi kenyataan setelah pansus pemilu
menyetujui bahwa kondisi komisi pemilihan umum (KPU) benar-benar menjadi
lembaga independen dan berwewenang penuh dalam menyelenggarakan pemilu.
Sekretariat KPU yang semula mempunyai dua atasan: untuk urusan operasional
bertanggung jawab kepada KPU, telah disatukan dalam struktur yang tidak lagi
bersifat dualistik. Struktur yang sama diterapkan pula ditingkat provinsi serta
kabupaten dan kota.
Kedua,
kesepakatan mengenai sistem proporsional terbuka, kesepakatan partai-partai
menerima sistem pemilu proporsional terbuka adalah suatu kemajuan. Sejak
semula, sebenarnya argumen kontra terhadap sistem proporsional terbuka dengan
menyatakan sistem ini terlalu rumit gugur dengan sendirinya. Begitu suatu
masyarakat atau bangsa sepakat memilih sistem demokrasi, saat itu harus menyadari
bahwa mewujudkan tatanan politik yang demokratis itu selain rumit, diperlukan
kesabaran melakukan pendidikan politik bagi masyarakyat. Sebab, partai politik
bukan saja instrumen untuk melakukan perburuan kekuasaan, tetapi juga institusi
yang mempunyai tugas melakukan pendidikan dan sosialisasi politik kepada
masyarakat.
Ketiga, pengawasan
terhadap penyelenggaraan pemilu supaya kebih efektif dari pemilu 2004. Caranya
antara lain, agar pengawas pemilu selain terdiri dari aparat penegak hukum dan
KPU, juga melibatkan unsur-unsur masyarakat. Selain itu, perlu semacam
koordinasi diantara lembaga pemantau dan pengawas pemilu sehingga tidak tumpang
tindih. Pengawasan dilakukan terhadap seluruh tahapan kegiatan pemilu. Tugas
lembaga pengawas adalah menampung, menindaklanjuti, membuat penyelidikan dan
memberi saksi terhadap pelanggaran pemilu.
Keempat, Money
politic, mencegah habis-habisan permainan uang dalam pemilu mendatang amat
penting sekali. Upaya itu amat perlu dilakukan mengingat politik uang dewasa
ini telah merebak luas dan mendalam dalam kehidupan pilih memilih pemimpin
mulai dari elite politik sampai dibeberapa organisasi sosial dan kemahasiswaan.
Karena itu, kontrol terhadap dana kampanye harus lebih ketat. Misalnya, Batasan
sumbangan berupa uang, mengonversikan utang dan sumbangan barang dalam bentuk
perhitungan rupiah, dilarang memperoleh bantuan dari sumber asing dan APBN/APBD
lebih-lebih sumber ilegal dan tentu saja hukuman pidana yang tegas dan setimpal
bagi para pelanggarannya.
Kelima, pendidikan
politik perlu segera dilakukan baik oleh organisasi masyarakat dan partai
politik. Bagaimanapun, pemilihan mendatang mengandung unsur-unsur baru serta
detail-detail yang sangat perlu diketahui oleh masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar