Jumat, 15 Maret 2013


FENOMENA- FENOMENA YANG SERING TERJADI  DALAM PEMILU
Pemilihan umum (pemilu) di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD, dan DPD. Setelah amandemen ke-IV UUD 1945 pada 2002, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga pilpres pun dimasukan ke dalam rezim pemilihan umum. Pilpres sebagai bagian dari pemilihan umum diadakan pertama kali pada pemilu 2004. Pada Tahun 2007 berdasarkan UU No. 22 Tahun 2007, pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) juga dimasukan sebagai bagian dari rezim pemilihan umum.
Ditengah masyarakat, istilah “pemilu” lebih sering merujuk kepada pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden yang diadakan lima tahun sekali. Pemilihan umum telah dianggap menjadi ukuran demokrasi karena rakyat dapat berpartisipasi menentukan sikapnya terhadap pemerintahan dan negaranya. Pemilihan umum adalah suatu hal yang penting dalam kehidupan kenegaraan. Pemilu adalah pengejewantahan sistem demokrasi, melalui pemilihan umum rakyat memilih wakilnya untuk duduk dalam parlemen, dan dalam struktur pemerintahan. Ada negara yang menyelenggarakan pemilihan umum hanya apabila memilih wakil rakyat yang akan duduk dalam parlemen, adapula negara yang juga menyelenggarakan pemilihan umum untuk memilih para pejabat tinggi negara saja.
Umumnya yang berperan dalam pemilu dan menjadi peserta pemilu adalah partai-partai politik. Partai politik yang menyalurkan aspirasi rakyat dan mengajukan calon-calon untuk dipilih oleh rakyat melalui pemilihan itu. Dalam ilmu politik dikenal bermacam-macam sistem pemilihan umum, akan tetapi umumnya berkisar pada dua prinsip pokok, yaitu singel member constituency (satu daerah pemilihan memilih satu wakil, biasanya disebut sistem distrik). Multy member constituenty (satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil; biasanya dinamakan proporsional representation atau sistem perwakilan berimbang).
Fenomena yang menarik dan perlu dicermati dari pemilu 2009 adalah praktek kampanye politik. Dalam cermatan penulis, kampanye terbuka tahun 2009 tidak sesemarak pemilu tahun 1999 atau 2004. Ada beberapa aspek penting yang perlu dicermati dalam kaitannya dengan kampanye politik pemilu 2009. Pertama, dilihat dari partisipasi politik. Masyarakat Indonesia pada umumnya, khususnya di kota sudah berada pada titik jenuh berpolitik. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari minimnya masyarakat yang turut berpartisipasi dalam proses kampanye terbuka. Hanya partai-partai bermodallah yang  mampu mengumpulkan massa ratusan atau ribuan orang. Besarnya massa kampanye inipun masih ada catatan karena sesungguhnya mereka hadir di lapangan tersebut bukan sebagai bagian dari usaha pendukungan terhadap partai politik, namun lebih disebabkan karena adanya imbalan ekonomi terhadap dirinya. Isu money politik atau politik uang dalam penggalangan massa kampanye menjadi isu lapangan yang mudah dibuktikan. Oleh karena itu, hanya partai-partai besar yang bermodallah yang  mampu melakukan kampanye terbuka secara massal. Sedangkan mereka yang memiliki kesulitan dalam dana politik, tidak mampu menggelar selebrasi demokrasi macam ini.
Fenomena ini sesungguhnya tidak relevan untuk dikaitkan dengan proses peningkatan partisipasi politik atau penguatan demokrasi politik di Indonesia. Namun hal yang nyata dan pasti bahwa proses politik yang berkembang saat ini adalah seperti itu, dan telah menjadi bagian dari fakta politik di Indonesia, dengan kata lain itulah realitas politik yang terjadi ditengah masyarakat dan itulah realitas partisipasi politik di Indonesia.
 Kedua, isu kampanye. Dari sudut pandang antropologi, nilai suatu tindakan dapat dilihat dari dua sudut yaitu sebagai instrument dan sebagai terminal. Isu kampanye dapat dikatakan sebagai isu yang mengandung nilai terminal, bila para kandidat mengusung mengenai pentingnya peningkatan pendidikan yang murah, layanan kesehatan yang merata dan murah, harga BBM murah, serta kesejahteraan yang meningkat. Isu-isu tersebut merupakan jenis dari isu-isu kampanye yang dapat dikategorikan sebagai isu terminal. Isu-isu kampanye yang bersifat teminalis sudah tentu merupakan sesuatu yang sangat menggairahkan, terlebih dari ketika kondisi masyarakat kita saat ini sedang mengalami keterpurukan yang panjang. Krisis ekonomi yang bermula dari krisis moneter tahun 1997 masih sangat terasa dan terus berimbas terhadap berbagai lini kehidupan masyarakat. Sayangnya, dalam beberapa perhelatan politik di tanah air, caleg, atau elit politik seringkali hanya mengumbar isu-isu terminal. Calon Presiden, gubernur dan calon kepala di daerah pelosok pun lebih gemar menawarkan isu-isu terminalis dibandingkan isu-isu instrumentalis. Padahal, kita sering menemukan para pemimpin kita yang hanya mampu merumuskan visi dan misi. Artinya, kadang visi politiknya bagus (terminal), namun tidak memiliki cara ampuh dalam mewujudkannya (instrumennya lemah). Contoh klasik di Indonesia, yaitu isu penghapusan KKN. Isu ini terminalis, dan menarik perhatian banyak kalangan, khususnya rakyat Indonesia, namun isu ini pun menjadi bahan cemoohan karena ternyata elit politik itu sendiri tidak memiliki strategi atau tindakan yang nyata untuk menghapuskannya. Malah yang terjadi adalah elit politiknya sendiri terlibat dalam praktek KKN. Ini adalah  bukti nyata bahwa isu kampanye, baru sekedar terminalis, dan belum dimiliknya instrumen atau cara ampuh untuk mewujudkannya.
Ketiga, para calon wakil rakyat mendadak menjadi dermawan, mereka berlomba-lomba turun secara langsung ke pasar-pasar tradisional, panti asuhan, panti jompo, mesjid untuk medapat sempatik pemuka agama serta memberi jaminan pengobatan gratis bagi masyarakat yang kurang mampuh demi manarik simpatik rakyat. Setelah mereka terpilih mereka mengabaikan aspirasi masyarakat yang merupakan tujuan utama mengapa mereka dipilih.
Agar pemilu dapat menjadi agenda pelembagaan proses politik yang demokratis, diperlukan kesungguhan, terutama dari anggota parlemen, untuk tidak terjebak dalam permainan politik yang oportunistik, khususnya dalam memperjuangkan agenda subjektif masing-masing. Orientasi sempit dan egoisme politik harus dibuang jauh-jauh. Kerangka hukum perlu didukung niat politik yang sehat sehingga regulasi bukan sekedar hasil kompromi politik oportunistik dari partai-partai besar untuk menjaga kepentingannya. Bila hal itu yang terjadi, dikhwatirkan hasil pemilu akan memperkuat oligarki politik. Karena itu, partisipasi masyarakat amat diperlukan. Bahkan, tekanan publik perlu dilakukan agar kerangka hukum yang merupakan aturan permainan benar-benar menjadi sarana menghasilkan pemilu yang demokratis. Untuk itu, perlu diberikan beberapa catatan mengenai perkembangan konsensus politik dari peraturan kepentingan di parlemen serta saran mengenai regulasi penyelenggaraan pemilu yang akan datang.
Pertama, diperlukan penyelenggaraan pemilu yang benar-benar independen. Parsyaratan ini amat penting bagi terselenggaranya pemilu yang adil dan jujur. Harapan itu tampaknya memperlihatkan tanda-tanda akan menjadi kenyataan setelah pansus pemilu menyetujui bahwa kondisi komisi pemilihan umum (KPU) benar-benar menjadi lembaga independen dan berwewenang penuh dalam menyelenggarakan pemilu. Sekretariat KPU yang semula mempunyai dua atasan: untuk urusan operasional bertanggung jawab kepada KPU, telah disatukan dalam struktur yang tidak lagi bersifat dualistik. Struktur yang sama diterapkan pula ditingkat provinsi serta kabupaten dan kota.
             Kedua, kesepakatan mengenai sistem proporsional terbuka, kesepakatan partai-partai menerima sistem pemilu proporsional terbuka adalah suatu kemajuan. Sejak semula, sebenarnya argumen kontra terhadap sistem proporsional terbuka dengan menyatakan sistem ini terlalu rumit gugur dengan sendirinya. Begitu suatu masyarakat atau bangsa sepakat memilih sistem demokrasi, saat itu harus menyadari bahwa mewujudkan tatanan politik yang demokratis itu selain rumit, diperlukan kesabaran melakukan pendidikan politik bagi masyarakyat. Sebab, partai politik bukan saja instrumen untuk melakukan perburuan kekuasaan, tetapi juga institusi yang mempunyai tugas melakukan pendidikan dan sosialisasi politik kepada masyarakat.
Ketiga, pengawasan terhadap penyelenggaraan pemilu supaya kebih efektif dari pemilu 2004. Caranya antara lain, agar pengawas pemilu selain terdiri dari aparat penegak hukum dan KPU, juga melibatkan unsur-unsur masyarakat. Selain itu, perlu semacam koordinasi diantara lembaga pemantau dan pengawas pemilu sehingga tidak tumpang tindih. Pengawasan dilakukan terhadap seluruh tahapan kegiatan pemilu. Tugas lembaga pengawas adalah menampung, menindaklanjuti, membuat penyelidikan dan memberi saksi terhadap pelanggaran pemilu.
Keempat, Money politic, mencegah habis-habisan permainan uang dalam pemilu mendatang amat penting sekali. Upaya itu amat perlu dilakukan mengingat politik uang dewasa ini telah merebak luas dan mendalam dalam kehidupan pilih memilih pemimpin mulai dari elite politik sampai dibeberapa organisasi sosial dan kemahasiswaan. Karena itu, kontrol terhadap dana kampanye harus lebih ketat. Misalnya, Batasan sumbangan berupa uang, mengonversikan utang dan sumbangan barang dalam bentuk perhitungan rupiah, dilarang memperoleh bantuan dari sumber asing dan APBN/APBD lebih-lebih sumber ilegal dan tentu saja hukuman pidana yang tegas dan setimpal bagi para pelanggarannya.
Kelima, pendidikan politik perlu segera dilakukan baik oleh organisasi masyarakat dan partai politik. Bagaimanapun, pemilihan mendatang mengandung unsur-unsur baru serta detail-detail yang sangat perlu diketahui oleh masyarakat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar